Pengusaha Kuliner Palembang Keberatan Dipungut Pajak 10 Persen

RMOL. Puluhan pedagang yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP), kembali menuntut Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang, untuk kembali merevisi Perda No. 02/2018 tentang Pajak Daerah.

Pasalnya, banyak pedagang yang merasa keberatan terhadap penetapan ketentuan penarikan pajak 10 persen dari setiap omzet penjualan pedagang.


Menurut Koordinator Aksi, Bima Sakti, keberatan dan kebijakan Pemkot Palembang terkait Perda Kota Palembang yang mendefinisikan restoran sebagai usaha kuliner secara umum seperti warung makan, warung tenda dan penjajah makanan dengan sepeda dan motor pun dapat dikategorikan sebagai restoran.

Apalagi, penentuan pajak 10 persen terlalu tinggi jika diambil dari omset berdasarkan Perda No 02/2018, jika mengacu pada omzet penjualan yang minimal Rp3 juta per bulan atau Rp100 ribu per hari.

"Omset tidak dapat dijadikan patokan kelayakan bagi usaha yang mampu membayar pajak. Pada usaha kuliner yang belum mendapatkan keuntungan jika omsetnya belum lebih Rp2 juta," ungkapnya.

Menurutnya, penetapan pajak kepada konsumen tidak tepat, sebab konsumen para pelaku usaha kuliner yang tergabung dalam forum ini merupakan konsumen dari segmen menengah ke bawah.

"Kami kesini menyatakan sikap penolakan terhadap kebijakan pajak restoran dari Pemkot ini dalam waktu lebih dari 7 bulan patut disyukuri ada upaya revisi Perda Nomor 2/2018 yang saat ini sedang diproses terbanyak DPRD kota Palembang," ulasnya.

Adapun yang menjadi tuntutan dan usulan FK-PKB, definisi dan kategori usaha kuliner yang terdiri dari tiga jenis yaitu restoran, rumah makan, dan warung makan. Penetapan pajak 10% bagi pelaku usaha kategori restoran, 0,5 persen bagi rumah makan (PP No 23 tahun 2018 yang berlaku sejak 1 Juli 2018, bahwa pajak UMKM ditetapkan 0,5 persen dari pendapatan kotor/jumlah omset, dan 0 persen atau sesuai kemampuan bagi warung makan warung tenda dan usaha kuliner sejenis ini.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palembang, Ratu Dewa menyampaikan, akan merespon apapun yang menjadi tuntutan pedagang yang hadir, termasuk pedagang kaki lima dan rumah makan yang tidak termasuk pedagang kena pajak yang ditetapkan.

"Terlepas mereka yang hadir terkena atau tidak termasuk pedagang kena pajak, apa yang menjadi keberatan yang disampaikan para pedagang, tetap akan kita respon," ungkapnya.

"Sebenarnya apa yang disampaikan sedang dalam pembahasan di DPRD Kota Palembang. Termasuk pengklasifikasian restoran kena pajak," ungkapnya.

Dewa mengaku, terkait dengan revisi Perda No.02/2018, tidak hanya akan ada pengkajian, tetapi akan dibahas apa yang menjadi tuntutan para pelaku kuliner tersebut seperti substansinya apa, keinginannya apa yang akan dibuat secara tertulis.

"Tadi kan konsepnya secara tertulis telah disampaikan dan akan dilihat serta dipelajari oleh BPPD sehingga bisa disampaikan ke DPRD Kota Palembang. Kalaupun bisa direspon-direspon, saya secara pribadi sepakan terkait harus ada pengklasifikasian dan pajak 10 persen ini tidak seluruhnya merata dan pedagang yang kira-kira tidak masuk dalam klasifikasi restoran kena pajak, tidak perlu khawatir," ulasnya.

Hal yang sama juga disampaikan Kepala BPPD (Badan Pengelola Pajak Daerah) Kota Palembang, melalui Sekretaris BPPD, Ikhsan Tosni berharap para pedagang tidak terprovokasi pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan dari persoalan pajak ini.

"Saat ini apa yang menjadi tuntutan terkait klasifikasi restoran rumah makan, dan warung makan kena pajak, masih dalam pembahasan di DPRD Kota Palembang. Karena sejak awal juga ada spesifikasi rumah makan atau restoran yang harus memungut pajak dari konsumen," ungkapnya. [ida]