Kejengkelan Presiden Bisa Jadi Sama yang Dirasakan Rakyat

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Sriwijaya Palembang MH Thamrin menilai sudah selayaknya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) jengkel dengan menterinya seperti video yang beredar di media sosial.


"Memang sudah selayaknya presiden harus menunjukkan kejengkelannya. Bagai seorang pemimpin orkestra, orkestrasi yang ditampilkan terlihat masih jauh dari harmonis. Kondisi krisis kesehatan sering kali terkesan direspon seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa yang luarbiasa," ujar Thamrin, Rabu (1/7/2020).

Dia memaparkan, kisruh penyaluran bansos, lambatnya pencairan anggaran, dan kecenderungan semua anggota kabinet bicara tentang pandemi malah menimbulkan kesan tidak adanya koordinasi antar anggota kabinet.

"Singkat kata, kejengkelan presiden boleh jadi sama dengan kejengkelan yang dirasakan rakyat terhadap bagaimana pemerintah menangani pandemi ini. Kejengkelan itu tidak hanya terhadap level menteri tetapi juga pada cara-cara daerah meresponnya. Ada pemerintah daerah yang tanggap dan menangani pandemi dengan cara-cara yang sistematis dan menggunakan pendekatan ilmiah. Tapi banyak juga yang mengandalkan intuisi semata. Ada pemerintah daerah yang memiliki strategis dan langkah yang jelas tapi ada juga yang gak jelas dan buru-buru melonggarkan semua pembatasan bahkan buru mau ke new normal disaat pandeminya sendiri belum terkendali dan bahkan menunjukkan angka penularan yang masih tinggi," katanya.

Thamrin menambahkan, dalam kaitan dengan ungkapan kejengkelan presiden yang diungkapkan secara terbuka melalui video yang diunggah ke publik tersebut, terdapat beberapa kemungkinan.

"Yang jelas ini adalah strategi komunikasi politik mengingat adanya jarak antara saat pidato kejengkelan diucapkan dengan saat penyebarluasan video tersebut," ujar Thamrin.

Menurutnya, bermacam kemungkinan dari maksud strategi komunikasi politik tersebut terutama menyangkut pesan apa yang ingin disampaikan. Pertama, presiden ingin menyampaikan bahwa beliau tetap bersama rakyat dan berpikir seperti apa yang rakyat pikirkan termasuk terhadap kejengkelan terhadap pemerintah.

Untuk itu presiden walaupun sekaligus merupakan kepala pemerintahan tidak menutup-nutupi apa yang menjadi kekurangan dari pemerintahan yang beliau pimpin. Aspirasi rakyat tetap beliau sampaikan dengan menyampaikan kejengkelan dan kemarahan terhadap para 'pembantunya'.

Kedua, kata dia, boleh jadi ancaman reshuffle, pembubaran badan dan apa pun yang menurut beliau sudah berpikir kemana-mana tersebut merupakan test of the water untuk melihat respon masyarakat.

"Sumbatan dan disharmoni dalam kabinet mungkin sudah dirasakan memang menggangu jalannya roda pemerintahan beliau, tapi melakukan reshuffle disaat pandemi ini apakah merupakan langkah yang tepat? Inilah yang coba dilontarkan oleh presiden untuk melihat reaksi pasar," katanya.

Namun demikian, lanjut Thamrin tampaknya soal reshuffle hanyalah terkait waktu saja. Melihat reaksi masyarakat dan pasar dalam beberapa hari ini tampaknya reshuffle memang suatu hal yang sudah ditunggu.

Ketiga, memperlihatkan kehadapan masyarakat internasional betapa seriusnya presiden dalam menghadapi pandemi ini. Secara terbuka beliau boleh jadi ingin menyampaikan bahwa beliau tidak segan-segan untuk mengungkapkan kejengkelan dan kemarahananya secara terbuka terhadap 'pembantunya' yang dianggap kurang serius. Sekaligus beliau ingin menyampaikan pesan, bahwa pemerintah presiden Jokowi sangat serius dalam menangani persoalan pandemi ini.

"Ke empat, beliau ingin mengingatkan para pembantunya untuk bekerja lebih keras dan segera dengan target yang jelas jika tak ingin di reshuffle. Walaupun kemungkinan ini terasa agak lemah. Karena jika yang dimaksud pesan agar bekerja keras mungkin lebih tepat disampaikan secara internal dan tidak perlu disampaikan secara terbuka," imbuhnya.

Tetapi tutur Thamrin, apapun maksud dari ungkapan tersebut yang jelas terdapat beberapa implikasi yang menunggu. Sekarang rakyat pasti menunggu realisasi dari ungkapan kejengkelan tersebut. Realisasi dalam makna tidak hanya berupa aksi tapi juga konsekuensi. Realisasi aksi dapat berupa reshuffle atau pembubaran badan, atau kebijakan baru yang berupaya mempercepat penanganan pandemi dan konsekuensi dalam arti hasil nyata dari apa pun tindakan yang dipilih pemerintah.

"Ini dapat berupa makin terkendalinya penularan, perbaikan dalam sistem kesehatan secara nyata, dan terjadinya perubahan perilaku masyarakat yang makin sadar protokol kesehatan dalam beraktivitas sehari-hari," pungkas Thmarin.