PB IDI Minta Pemerintah Transparan Mengenai Identitas Pasien Covid-19

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendorong dilakukannya transparansi data/identitas pasien COVID-19 ke publik.


PB IDI dan Gugus Tugas Penanggulangan Bencana COVID-19 belum memutuskan apakah akan merekomendasikan diberlakukannya lockdown atau tidak.

"Tindakan tersebut tidak melanggar kode etik Praktik Kedokteran," kata Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih dalam konperensi pers di Jakarta, Senin (16/3/2020).

Selain Daeng, turut memberikan keterangan Emi N ( PB IBI), Hanif Fadhillah (DPP PPNI), Leni Dahliana ( PB PDGI), Kusmedi ( PERSI), Dyah Agustina ( PB IDI), Prasetyo ( PB IDI), dan M Nasser ( Dewan Pakar PB IDI / Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia).

Menurut Daeng, pentingnya membuka identitas pasien Covid-19 untuk kewaspadaan masyarakat luas.

Menurutnya, para Pengurus PB IDI sudah melakukan diskusi dan membahas terkait transparansi data pasien COVID-19. Dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama kemudahan melacak kontak pasien, mereka menyarankan agar membuka data pasien COVID-19 ke publik.

Dalam kondisi seperti sekarang ,undang-undang membolehkan dokter membuka data pasien.

Hal senada juga diungkapkan M Nasser. Nasser mengakui memang ada kebijakan tidak membuka rahasia pasien ke publik, namun itu dalam kondisi umum. Namun, dibolehkan jika untuk kepentingan masyarakat.

"Menyembunyikan identitas pasien infeksi Virus Corona hanyalah akan mendukung penyebaran rasa takut pada masyarakat ," katanya.

Sebaliknya, orang yang sembuh harus didukung juga untuk bebas dari rasa bersalah dan beban psikologis akiba! terinfeksi Virus ini.

Dengan demikian, kata Nasser, membuka nama dan alamat penderita infeksi Virus Corona bukanlah termasuk tindakan membuka rahasia medik, apalagi dikaitkan dengan pasal-pasal pidana.

Membuka data pasien COVID-19, lanjutnya, sekaligus memudahkan pemerintah melakukan contact tracing dengan kata lain meningkatkan efektivitas dan efisiensi upaya penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Selain transparansi data pasien COVID-19, PB IDI juga merekomendasikan beberapa langkah penting untuk dilaksanakan oleh Gugus Tugas Penanggulangan Bencana COVID-19. Diantaranya memperluas laboratorium pemeriksaan pasien, memperluas rumah sakit yang menangani pasien, dan memenuhi kekurangan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis yang menangani pasien COVID-19.

“APD ini penting agar tenaga medis terlindungi dari COVID-19. Karena kalau terkena COVID-19 jelas akan mengganggu pelayanan kepada pasien lain,” tukas Daeng.

Masih terkait kerahasiaan pasien, menurut Nasser, kerahasiaan medik pasien telah diatur dalam UU Lex Spesialis.

Pasal kerahasiaan medic diatur dalam 4 UU yakni pasal 48 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 57 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 38 UU no 44/2009 tentang Rumah Sakit dan pasal 73 UU no 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Secara materiil isi pasal-pasal tersebut tidak berbeda jauh atau berulang satu sama lainnya.

“Dengan adanya empat undang-undang tersebut maka kita memegang azas hukum Lex specialis derogate lex generalis. Sehingga tidak ada alasan untuk menggunakan ayat 1 pasal 322 KUHP,” jelas Nasser.

Berbeda dengan penyakit lain, COVID-19 tidak menimbulkan stigma di tengah masyarakat. Sebab COVID-19 bukanlah penyakit yang berhubungan dengan perilaku menyimpang seperti HIV/AIDS atau penyakit infeksi seksual dan penyakit menular yang ekstrem.

Eni Nurjasmin dari PB IDI berharap petugas kesehatan tidak dibebani kerja berlebihan.

Sementara itu, Diah Waluyo , Sekretaris Satgas PB IDI berharap keputusan socal distancing yang ditetapkan pemerintah diikuti dipatuhi sebagimana mestinya untuk mencegah penyebaran Covid 19.

Menurut Leni Dahliana ( PDGI), titik penting dalam kasus ini ada juga ada di masyarakat

."Kerjasama serentak untuk memerangi Covid 19 sangat penting," katanya.[ida]