Paradoks Musi Banyuasin: Negeri Kaya dalam Cengkeraman Mafia?

Ilustrasi/RMOLSumsel
Ilustrasi/RMOLSumsel

Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), salah satu wilayah terkaya di Sumatera Selatan dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, kini dinilai pengamat sedang menghadapi ironi yang mengkhawatirkan. 


Kekayaan dari minyak, gas, hingga sektor perkebunan dan tambang, ternyata belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini terungkap dari data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa Muba berada di peringkat ketiga kabupaten termiskin di Sumsel , dengan 14,90% atau sekitar 106 ribu warganya hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal ini juga dinilai sebagai paradoks yang mencolok, mengingat Kabupaten Muba, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp3,6 triliun pada 2023, justru menjadi magnet bagi kepentingan segelintir elite yang ingin menguasai sumber dayanya. 

"Di balik kemakmuran alamnya, muncul ketimpangan distribusi kekayaan, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan, serta minimnya peluang kerja bagi masyarakat setempat," ungkap pengamat Bagindo Togar.

Menurut Bagindo , kesenjangan tersebut diperburuk oleh tata kelola pemerintahan yang tidak transparan. Sejak sejumlah pejabat tersangkut kasus korupsi, cita-cita Muba untuk menyejahterakan rakyatnya seakan jauh dari kenyataan. Pengelolaan APBD dan SDA yang buruk membuat kabupaten ini terus disorot dengan stigma negatif.

Kini, di tengah krisis yang masih berlangsung, perhatian masyarakat Muba terpecah oleh Pilkada Serentak yang akan diadakan November 2024. 

Saat ini, terdapat dua pasangan calon kepala daerah siap bertarung, namun keduanya dinilai Bagindo tidak dapat memberikan harapan yang jelas. Pilihan yang tersedia bukanlah tentang siapa yang paling mampu memajukan Muba, melainkan antara dua figur dengan rekam jejak kelam. 

"Satunya mafia APBD, satunya lagi mafia minyak yang diduga berada di balik illegal drilling di Muba. Apa yang bisa kita harapkan (untuk kemajuan Muba dan kesejahteraan masyarakat)?" ungkap Bagindo kritis.

Padahal, pemerintah pusat maupun daerah, telah meluncurkan sejumlah program untuk menanggulangi masalah ini untuk membuat Kabupaten Muba kembali berada di jalur kemajuan, meskipun implementasinya belum optimal. Kedua calon ini menurut Bagindo lebih mementingkan ambisi pribadi dan syahwat kekuasaan daripada visi yang jelas untuk membangun Muba. 

Warisan buruk mereka menambah beban masa depan Muba, yang kini berada di titik kritis. Sehingga dalam momentum kali ini, perjalanan masyarakat untuk sejahtera menurutnya akan semakin jauh. "Masyarakat Muba dihadapkan pada pilihan sulit, memilih pemimpin yang tidak berkompeten atau menyerah pada kepentingan elite yang terus mengeksploitasi SDA tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat," lanjut Bagindo.

Apa Solusi untuk Masyarakat Muba?

Di tengah dilema ini, menurut Bagindo masyarakat Muba harus lebih kritis dan cerdas dalam menentukan pilihan. Mereka perlu menuntut transparansi dari para calon, mendesak mereka untuk memaparkan program yang konkret dan bukan sekadar janji kosong. 

Selain itu, masyarakat perlu lebih aktif dan memperkuat pengawasan terhadap aktivitas illegal drilling yang terus memakan korban, juga potensi korupsi APBD, karena masalah ini tidak akan selesai tanpa partisipasi aktif rakyat dalam menjaga aset mereka sendiri.

"Masa depan Muba dipertaruhkan, dan kunci perubahan ada di tangan rakyat. Penting bagi masyarakat Muba untuk tidak terjebak dalam politik uang atau janji populis," ujarnya.