Pakar Hukum: Keluarga Politik Tak Haram, Tapi Relasi Nepotisme Dilarang

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti/Repro
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti/Repro

Polemik muncul setelah Presiden Joko Widodo mengklaim bahwa dirinya diperbolehkan untuk melakukan kampanye dan berpihak, merujuk pada satu pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, pernyataan ini mendapatkan kritik tajam dari pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti.


Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi dapat dianggap melanggar UU Pemilu, mengingat adanya beberapa pasal terkait aturan kampanye bagi presiden. Selain Pasal 299 ayat (1), Pasal 301 dan Pasal 269 juga dianggap relevan yang menjelaskan keterlibatan presiden dalam kampanye pemilu hanya jika menjadi calon petahana atau merupakan anggota partai dan harus cuti dari jabatannya.

Namun, perhatian masyarakat tertuju pada relasi Jokowi dengan Gibran Rakabuming Raka, putranya yang ikut dalam dunia politik. Bivitri menekankan bahwa situasi ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana seorang presiden masih memegang kekuasaan sementara anaknya ikut dalam kontestasi politik.

"Situasi yang kita hadapi sekarang kan memang unprecedentedya, belum pernah terjadi di negara kita ada seseorang yang masih memegang kekuasaan terus anaknya nyalon," ujar Bivitri.

Bivitri mengakui mendapat kritik dari kelompok simpatisan Jokowi dan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Namun, dia menegaskan bahwa kritiknya bukanlah soal melarang keluarga elite politik untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik, melainkan terkait netralitas Presiden Jokowi pada Pilpres 2024.

"Jadi ini bukan soal nama keluarga atau hubungan keluarga. Keluarga politik itu tidak haram, tidak sama sekali. Tapi yang tidak boleh adalah relasi nepotismenya itu," tegas Bivitri dalam diskusi virtual.