Organisasi HAM Global Komentari Putusan Bebas Haris-Fatia: Setop Kriminalisasi Aktivis

Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bebas kepada Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti/RMOL
Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bebas kepada Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti/RMOL

Vonis bebas dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur mendapat perhatian dari seluruh pihak. Tak terkecuali CIVICUS, sebuah aliansi masyarakat sipil global. 


Dalam siaran persnya, Senin (8/1), CIVICUS berpendapat vonis bebas keduanya atas tuduhan pencemaran nama baik menjadi kemenangan untuk keadilan atas represi. Menurut CIVICUS, keduanya seharusnya tidak pernah diadili sejak awal. 

"Pembebasan keduanya setelah dua tahun mengalami pelecehan hukum merupakan kemenangan bagi kebebasan berekspresi dan bagi para aktivis di Indonesia yang menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan," kata Peneliti Asia Pasifik untuk CIVICUS, Josef Benedict.

Dia mengatakan, tuduhan yang diajukan terhadap kedua aktivis tersebut merupakan bentuk pembalasan atas kerja mereka dalam bidang HAM yang selama ini kerap disuarakan. 

Pelecehan hukum yang mereka hadapi selama dua tahun terakhir tidak sejalan dengan Konstitusi Indonesia dan komitmen HAM internasional. Khususnya berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). UU ITE, menurutnya secara sistematis digunakan untuk melecehkan dan mengintimidasi pembela hak asasi manusia, jurnalis dan kritikus serta membatasi kebebasan berpendapat mereka. 

Penuntutan mereka juga merupakan upaya lain dalam membungkam kritik terhadap pelanggaran HAM di Papua. "Pemerintah Indonesia harus berhenti menggunakan UU yang membatasi seperti UU ITE, dalam menargetkan aktivis, jurnalis dan kritikus," ucapnya. 

Dia juga mendorong pemerintah Indonesia meninjau dan mencabut semua ketentuan yang tidak sejalan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional. "Pemerintah juga harus mengakhiri serangan terhadap pembela hak asasi manusia dan mengizinkan pembela ham dan organisasi masyarakat sipil untuk menjalankan tugasnya secara bebas dan aman," tandas Bendict. 

Fatia adalah mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Haris adalah Direktur Eksekutif Yayasan Lokataru. Kedua organisasi tersebut adalah organisasi hak asasi manusia.

Tuduhan pencemaran nama baik tersebut merupakan respons terhadap talkshow YouTube yang membahas laporan investigasi masyarakat sipil yang menuduh adanya kaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI serta beberapa otoritas lainnya dengan aktivitas penambangan emas di kawasan Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua. 

Pada Agustus 2021, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan mengajukan laporan polisi terhadap Fatia dan Haris. Pada bulan Maret 2022, setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, Polda Metro Jaya secara resmi menetapkan Fatia dan Haris sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27(3) juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 310(1) dan 311 KUHP.

Sejak itu, mereka harus menghadapi setidaknya 31 sidang. Pada November 2023, jaksa penuntut umum meminta pengadilan menghukum Fatia tiga tahun enam bulan penjara, dan Haris empat tahun penjara beserta denda.

Pada tanggal 8 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan bahwa tindakan mereka tidak termasuk pencemaran nama baik dan membebaskan mereka dari segala tuntutan.