Opini WTP 12 Kali Berturut Jadi Kamuflase Sistem Penganggaran yang Kusut [Bagian Kedua]

Ketua DPRD Kota Palembang, Zainal Abidin (kiri), Ketua BPK RI Perwakilan Sumsel, Harry Purwaka (tengah) dan Wali Kota Palembang, Harnojoyo (kanan) usai menerima LHP atas LKPD 2021. (ist/rmolsumsel.id)
Ketua DPRD Kota Palembang, Zainal Abidin (kiri), Ketua BPK RI Perwakilan Sumsel, Harry Purwaka (tengah) dan Wali Kota Palembang, Harnojoyo (kanan) usai menerima LHP atas LKPD 2021. (ist/rmolsumsel.id)

Berdasarkan penelaahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja barang dan jasa dan belanja modal tersebut, BPK menemukan adanya kelemahan dalam desain maupun pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern yang dilakukan oleh Pemkot Palembang.


Kelemahan ini terdapat dalam setidaknya lima aspek yakni lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan. Kelima hal ini kemudian diuraikan oleh BPK dalam tiga poin penting yang disinyalir menjadi penyebab terjadinya kebocoran (baca: dugaan penyalahgunaan) penggunaan uang negara ini.

Pertama, dalam konteks lingkungan pengendalian, Pemkot Palembang disebut belum sepenuhnya menerapkan, menciptakan dan memelihara lingkungan yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya.

Menurut laporan tersebut, lingkungan pengendalian yang belum terpelihara di Pemkot Palembang ini, terdiri dari:

  1. Penegakkan integritas dan etika, dengan contoh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pengawas Lapangan pada Dinas PUPR dan Dinas PRKP tidak optimal mengawasi kegiatan peningkatan jalan dengan metode pengadaan langsung karena satu PPK harus mengawasi dan mengendalikan paket kegiatan peningkatan jalan dengan jumlah yang sangat banyak. Hal ini dibuktikan pula dalam hasil uji petik dalam pelaksanaan belanja makanan dan minuman, BBM, dan servis kendaraan pada beberapa OPD yang masih menunjukkan laporan pertanggung jawaban yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya;
  2. Komitmen terhadap kompetensi, yang menurut hasil uji petik atas kegiatan yang dilakukan pada Dinas PUPR, Dinas PRKP, dan Dinas Pendidikan ditemukan belum adanya pegawai yang belum memiliki kualifikasi yang sesuai untuk menduduki jabatan di OPD tersebut. Pemkot Palembang juga belum memiliki sistem asesmen terhadap pegawai yang akan menduduki jabatan atau pelaksana tugas tertentu. Sehingga pegawai di satuan kerja belum sepenuhnya memiliki kompetensi sesuai standar yang ditetapkan masing-masing bidang. Hal ini menjadikan masih terdapatnya kesalahan dan temuan dalam pemeriksaan atas belanja daerah dan LKPD dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, seperti dalam perhitungan insentif, pemungutan retribusi daerah, honorarium tim pokja serta kekurangan volume pekerjaan;
  3. Gaya operasi dan filosofi manajemen, dalam poin ini Pemkot Palembang dinilai terlalu banyak melakukan rapat untuk membahas pelaksanaan kegiatan misalnya untuk menghadapi kendala seperti masih berlangsungnya pandemi Covid-19, pergantian PPK dan pemutusan kontraktor yang menghambat penyelesaian kegiatan;
  4. Struktur Organisasi, dalam poin ini Pemkot Palembang mempuyai Perwali yang mengatur tugas pokok, fungsi, tanggung jawab dan wewenang untuk setiap unit kerja dengan kewajiban melakukan analisis kebutuhan untuk setiap unit dalam organisasi;
  5. Pelimpahan Wewenang dan Tanggung Jawab, dalam poin inippendelegasian wewenang di Pemkot Palembang belum diatur dengan baik sehingga pembagian tugas belum merata diantara pegawai. Misalnya penunjukkan PPK untuk kegiatan peningkatan jalan dengan metode pengadaan langsung dengan nilai anggaran sebesar Rp200 Miliar, pegawai yang ditugaskan memantau pelaksanaannya hanya PPK dan Pengawas lapangan dengan tidak melibatkan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Dalam prosesnya, para PPK SKPD ini juga cenderung tidak meneliti kelengkapan dokumen pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang dilampurkan dalam pengesahan GU Bendahara Pengeluaran. Sehingga proses pengesahan hanya dengan melihat rekapitulasi belanja yang dibuat oleh bendahara pengeluaran; dan
  6. Kebijakan dan Praktek Pembinaan SDM, dalam poin ini Pemkot Palembang diketahui tidak menempatkan pegawai sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kompetensi teknis yang dimiliki.

Kedua, dalam dalam konteks penilaian risiko, Pemkot Palembang khususnya OPD yang dijadikan sampel pemeriksaan belum memiliki perhatian khusus untuk melakukan identifikasi dan analisis resiko sehingga dapat menghambat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Hal ini berdampak pada kurangnya kemampuan mengantisipasi kondisi yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan. Dalam poin identifikasi resiko, apa yang dilakukan hanya sebatas mengantisipasi kondisi yang tidak sesuai dengan didasarkan pada pengalaman dan tidak dilakukan secara tertulis. Sementara dalam poin analisis resiko, apa yang dilakukan oleh Pemkot Palembang ini nyatanya membuat sejumlah pekerjaan terlambat dan mengalami kekurangan volume.

Ketiga, dalam konteks aktivitas pengendalian, penilaian BPK didasarkan pada beberapa item, yakni:

a. Pengendalian dan pengolahan informasi, dalam poin ini, Pemkot Palembang melalui Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBL) telah menunjuk pejabat fungsional yang bertugas sebagai kelompok kerja dalam pengadaan barang dan jasa yang menggunakan aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sehingga telah memfasilitasi pelaksanaannya secara elektronik;

b. Pemisahan tugas, dalam poin ini pemisahan tugas telah dilakukan oleh OPD melalui Surat Keputusan Kepala Dinas terkait tentang penunjukkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), PPTK dan Pengawas Lapangan. Para pejabat pengadaan ini juga telah diberikan orientasi, pelatihan, sertifikasi dan dukungan dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Namun, dalam hasil uji petik, Dinas PUPR dan Dinas PRKP tidak menetapkan PPTK dalam setiap pengadaan langsung yang dilakukan sehingga pengawasan dan pengendalian tidak bisa dilakukan secara maksimal. Akibatnya, seorang PPK pada dinas tersebut mengawasi lebih dari 20 paket pekerjaan sehingga mengakibatkan kekurangan volume dalam pekerjaan. Begitu juga dengan hasil pengujian pengendalian atas belanja barang dan jasa pada Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Perhubungan, Dinas LHK, Dinas PRKP, Bapperda dan beberapa kecamatan menunjukkan terdapat pemisahan tugas antara bendahara pengeluaran dan PPTK kegiatan. Namun, fungsi verifikasi SPJ belanja, belum dilakukan secara optiman, sehingga masih terdapat temuan kelebihan pembayaran belanja barang dan jasa;

c. Pengendalian fisik, data, dokumen dan catatan, dalam poin ini Pemkot Palembang telah menerapkan pembatasan akses terhadap orang yang masuk ke ruang penyimpanan dokumen, peralatan, pengolahan data dan penyimpanan aset. Begitu juga dengan pemeriksaan atas dokumentasi kegiatan pengadaan yang juga meliputi pengamanan dokumen penawaran, lelang, kontrak, dokumen pembayaran, berita acara serah terima (BAST) juga telah dilakukan dengan memadai. Akan tetapi dalam catatan BPK, Pemkot Palembang yang dalam hal ini Dinas PUPR dan Dinas PRKP pada kenyataannya belum memiliki peralatan pengujian kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan. Sehingga berpotensi terdapat ketidaksesuaian volume dan mutu antara hasil pekerjaan dengan kontrak;

d. Verifikasi, dalam poin ini pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Pemkot Palembang berpedoman kepada Peraturan Presiden No. 12 tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sedangkan untuk standar harga satuan, OPD mengacu pada Keputusan Walikota No.338/KPTS/BPKAD/2020 tentang Standar Harga Satuan Biaya, Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), dan Analisa Standar Belanja (ASB) Konstruksi di Lingkungan Kota Palembang tahun anggaran 2021. Verifikasi ini dilakukan oleh pejabat fungsional dalam kelompok kerja di masing-masing Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ) untuk pengadaan diatas Rp200 juta. Sedangan untuk pengadaan dibawah nominal tersebut, akan dilakukan oleh PPK di masing-masing OPD tersebut. Namun dalam prosesnya, BPK menemukan bahwa fungsi verifikasi belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, sehingga masih terdapat SPJ belanja barang dan jasa yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya seperti belanja BBM dan servis kendaraan;

e. Reviu atas Kinerja, dalam poin ini BPK juga mendapati bahwa pejabat pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Palembang belum melakukan reviu atas kinerja yakni analisis terhadap penyebab permasalahan, misalnya kurang volume, lebih pembayaran, ketidaksesuaian spesifikasi, serta belum dikenakannya denda keterlambatan atas paket pekerjaan yang mengalami keterlambatan. Sehingga terdapat temuan berulang pada LHP sejak tiga tahun terakhir;

f. Informasi dan komunikasi, dalam poin ini BPK mengartikan bahwa setiap organisasi harus mengidentifikasi seluruh informasiyang dibutuhkan dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan sesuai dengan kewenangannya. Sebagai contoh, Pemkot Palembang telah memiliki sistem informasi dan komunikasi pengadaan barang dan jasa melalui aplikasi LPSE. Namun pada kenyataannya informasi dan komunikasi antar OPD masih belum maksimal dilakukan. Salah satu contohnya adalah komunikasi antar OPD, saat terdapat seorang pegawai yang dikenai sanksi namun masih mendapatkan tambahan penghasilan. Dari catatan BPK itu, hal ini disebabkan karena BKPSDM terlambat menyampaikan keputusan Wali Kota tentang pemberian sanksi pegawai sehingga bidang Perbendaharaan masih memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai tersebut; dan

g. Pemantauan, dalam poin ini pemantauan yang dilakukan oleh aparat pengawas internal (tim pengawas Dinas, Bappeda, dan Inspektorat) masih belum maksimal. Terbukti dengan masih banyaknya terdapat temuan berulang yang berkaitan dengan pelanggaran kebijakan dan ketentuan perundang-undangan, yakni kekurangan volume pekerjaan, keterlambatan penyelesaian pekerjaan fisik dan kelebihan pembayaran jasa konsultasi. Pada kasus lebih bayar dan kekurangan belanja ini, BPK menemukan angka yang cukup signifikan. Sehingga dari kelima unsur dalam Sistem Pengendalian Intern tersebut, BPK menyimpulkan bahwa desain dan implemetasi SPI terkait pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta belanja modal pada Pemkot Palembang belum sepenuhnya memadai.

Koordinator K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan. (ist/rmolsumsel.id)

Hal inilah yang sebelumnya disampaikan oleh Koordinator K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan, seharusnya menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum.

"Setiap temuan ini tentunya ada rekomendasi, bahwasanya terjadi kelebihan bayar, tidak dapat dipertanggungjawabkan, volume kurang, dan tidak ada data pendukung. Rekomendasi BPK ini sudah inkrah dan tidak boleh diubah. Jadi, jika memang tidak ada pertanggungjawabannya maka jangan diada-adakan pertanggungjawabannya dan lain sebagainya. Jika memang diminta dikembalikan maka harus dikembalikan," tegas Feri.

Sejumlah kelemahan yang disebutkan oleh BPK dalam LH inilah yang kemudian merujuk kepada temuan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga sebesar Rp15.594.480.048. Angka ini mengacu kepada anggaran dan realisasi belanja Pemkot Palembang per 30 November 2021 dimana untuk belanja operasi dianggarkan Rp3.002.256.753.711,80 yang terealisasi sebesar Rp 1.9377.801.311.923,26 atau hanya 64,54 persen.

Sedangkan untuk belanja modal, Pemkot Palembang menganggarkan Rp1.278.682.613.543,64 yang terealisasi sebesar Rp 519.443.893.721,67 atau hanya 40,62 persen. Secara kumulatif, Pemkot Palembang untuk tahun 2021 ini menganggarkan Rp4.280.939.367.255,44 yang terealisasi sebesar Rp 2.457.245.205.644,93 atau hanya 57,40 persen. (*/bersambung)