Bagi para perantau yang ingin pulang kampung alias mudik lebaran 2020, disarankan untuk menunda rencananya dulu.
- Arab Saudi Tetapkan Kuota Haji 1 Juta Orang, Ini Syarat yang Diberlakukan
- Khawatir Masalah Privasi, Kanada Luncurkan Penyelidikan Aplikasi ChatGPT
- Sesuai Jadwal, Pemerintah Hentikan Siaran Analog Tahap I 30 April 2022
Baca Juga
Selain berpeluang menyebarkan virus Corona, banyak daerah yang memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
“Tidak ada gunanya mudik sekarang, mau dilarang atau tidak, karena semua daerah sudah memberikan aturan kalau datang dari kota besar. Jadi buat apa mudik? Keluar dari situ (tempat karantina), balik lagi (ke kota),” kata Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla (JK) saat mengikuti Rapat Pleno online Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (22/4).
Dalam pandangan JK, mudik akan sia-sia belaka karena setiap daerah sudah serentak menerapkan PSBB atau minimal mengkarantina warga yang berasal dari kota-kota besar.
Maka, mudik yang biasanya hanya seminggu di kampung itu akan habis di masa karantina yang mencapai empat belas hari.
"Kalau harus dikarantina lebih baik stay at home kan. Kan bisa mudik kalau suasana sudah aman," ucapnya.
Langkah tidak mudik itu, menurut JK, adalah cara mengurangi sebab-sebab COVID-19. Menurutnya, kasus COVID-19 ini lebih parah dan lebih dahsyat dibandingkan dengan kejadian bencana alam sekelas tsunami sekalipun.
Bencana alam separah apapun, tutur JK, biasanya akan ditangani pada bagian akibatnya, pada para korban yang berjatuhan.
Namun COVID-19 ini bukan hanya akibat yang harus ditangani, tetapi juga sebab-sebab yang terus muncul.
“Sekarang ini, sebab dan akibatnya harus diselesaikan bersama, harus ada prioritas bersama-sama kita selesaikan,” ujar JK.
JK menerangkan, COVID-19 ini bukan lagi sekadar wabah, teror sudah menjadi teror dunia. Menurutnya, tidak ada satupun negara di dunia yang 100% bisa mengatasi ini.
Bahkan sekelas China yang semula dikira berhasil pun, ternyata kini kembali khawatir dengan yang mereka sebut sebagai kasus COVID-19 impor. Bagi JK, musibah ini sangat keras karena menyangkut segala aspek kehidupan.
“Apapun yang kita kerjakan, entah itu ekonomi, ibadah, tidak akan bisa selesai tanpa kita menyelesaikan sebab. Apapun yang diberikan kepada masyarakat hanya mengisi supaya masyarakat tetap semangat, apapun yang kita lakukan, tidak bisa tanpa mengurangi sebab,” kata dia.
“Waktunya kita bersatu melawan ini, kita bersama-sama, khususnya umat ini, bagaimana masing-masing menjaga kedisplinan memakai masker dan jarak,” sambungnya.
JK menambahkan, beberapa ahli memprediksi bahwa puncak COVID-19 berlangsung pada bulan Mei ini.
Menurutnya, dengan menjadi puncak, maka akibat yang ditimbulkan juga mencapai puncak pula. Bukan hanya dari sisi kesehatan dengan berjatuhannya korban, tetapi juga ekonomi akan sangat terasa.
Apalagi dengan struktur penduduk yang mayoritas beragama Islam, maka akan semakin banyak muslim yang terkena imbas COVID-19.
JK pun mendorong berbagai lembaga amil zakat, infaq, maupun shadaqah (ZIS) bahu membahu membantu sesama muslim. Bila tidak, lanjut JK, maka akan timbul masalah keamanan seperti penjarahan di banyak tempat.
“Ini bulan Mei banyak yang memperkirakan puncaknya, berarti puncaknya PHK, kemiskinan, dan kekurangan makanan, maka bagaimana kita bersama-sama mengektifkan ziswaf bersama-sama kepada yang tidak mampu minimal melalui masjid,” katanya.
Kalau tidak, tambah JK, akan timbul masalah keamanan. "Kalau tidak makan ya bisa terjadi berbagai macam-macam seperti tahun 1998, ketika masyarakat tidak bisa makan, maka terjadi penjarahan atau apapun di banyak tempat,” tegas JK.
- Kembangkan Tanaman Hibrid, Pria Ini Kantongi Uang Puluhan Juta per Bulan
- Menag Yaqut Umumkan Hari Raya Iduladha Jatuh Pada Hari Selasa 20 Juli 2021
- Deddy Corbuzier Sandang Pangkat Letnan Kolonel