Minimnya Gema HUT Palembang: Antara Gimmick Saling Menyalahkan dan Nilai Budaya yang Semakin Terlupakan

Suasana senja di jembatan Ampera. Kota Palembang kini juga sudah memasuki usia senja dan disebut semakin terlupa. (rmolsumsel)
Suasana senja di jembatan Ampera. Kota Palembang kini juga sudah memasuki usia senja dan disebut semakin terlupa. (rmolsumsel)

Sekda Kota Palembang Ratu Dewa pada Senin (13/6) lalu mengungkapkan kalau dirinya merasa kesal dengan pejabat di Pemkot Palembang, akibat tidak menunjukkan upaya menyemarakkan hari jadi kota Palembang ke-1339, yang jatuh pada 17 Juni 2022 besok. 


Apa yang diungkapkan oleh Ratu Dewa seolah menjadi bukti kalau jajarannya tidak punya rasa memiliki terhadap kota Palembang. Padahal di satu sisi, Ratu Dewa menurut pengamat seharusnya bisa bertanggung jawab terkait hal ini, bukan justru menyalahkan jajarannya atau Kepala OPD, yang disampaikannya dalam keterangan resmi tersebut.

Sebab, Ratu Dewa adalah pimpinan tertinggi bagi ASN di jajaran Pemkot yang secara administrasi dan aturan, memiliki kewenangan pula untuk membina dan mengawasi jajarannya. Sehingga apa yang dilakukannya seolah menunjuk hidung sendiri.

Pengamat Bagindo Togar beberapa waktu lalu pernah menyampaikan pendapatnya, minimnya rasa memiliki ataupun upaya untuk memajukan kota Palembang ini tak lepas dari kesan cuek yang juga didapat dari Wali Kota Harnojoyo. Pada banyak kesempatan orang nomor satu di kota Palembang itu justru lebih sering tidak berada di Palembang. 

Di sisi lain, Wakil Walikota Fitrianti Agustinda justru terlihat tidak memiliki panggung, bahkan untuk sekadar menjadi ban serep dalam pemerintahan kota Palembang saat ini, lantaran Harnojoyo juga terkesan memberikan keleluasaan bagi Sekda Ratu Dewa untuk unjuk gigi di berbagai kesempatan. 

Imbasnya, masyarakat kota Palembang juga semakin tidak peduli, apalagi untuk menghargai nilai budaya Palembang, termasuk dalam momen sakral HUT kota Palembang sebagai salah satu kota tertua di Indonesia ini. Situasi saat ini, sangat disayangkan oleh Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama R.M.Fauwaz Diradja.

Saat dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel, Fauwaz menilai apa yang dilakukan oleh pemerintah yang kerap mempromosikan kota Palembang sebagai salah satu kota dengan sejarah dan budaya yang tinggi, menjadi kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan. 

"Ada nilai besar dari sejarah Sriwijaya dalam ulang tahun kota Palembang. Pemerintah kerap menjual kebesaran nama itu, padahal kenyataannya tidak bisa dimaknai dengan baik, sehingga nilai-nilai yang misalnya terdapat dalam prasasti Sriwijaya itu menjadi bias di tengah masyarakat sekarang," katanya. 

Hari jadi kota Palembang seharusnya, kata dia, bisa dirayakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai cara, kalaupun kemudian permasalahan anggaran menjadi alasan dari Pemkot Palembang dan jajaran OPD tidak bisa merayakannya dengan semarak. 

Berbagai kegiatan ini, sarannya, secara konkrit harus bertujuan untuk kembali merekatkan dan mengedukasi masyarakat serta generasi muda agar semakin mencintai kota Palembang. Sehingga meskipun tidak dipimpin oleh orang yang berdarah asli Palembang, maka nilai-nilai sejarah dan budaya itu tetap melekat, kemudian menjadi ciri khas. 

Pegawai Dinas Kebudayaan kota Palembang mengenakan pakaian adat Palembang setelah Perwali No.3 tahun 2018 dikeluarkan. (ist/rmolsumsel)

Kota Tua yang Mulai Terlupakan, Bahkan oleh Pemerintahnya Sendiri

Wali Kota Harnojoyo telah mengeluarkan Perwali No.3 tahun 2018 tentang Penggunaan Pakaian Adat Palembang pada 15 Januari 2018 lalu. Keluarnya perwali ini sempat disambut oleh pelaku sejarah dan budaya dan masyarakat Palembang sebagai komitmen yang baik dari Pemerintah untuk memasyarakatkan kecintaan terhadap Palembang. 

Didalamnya diatur kewajiban bagi seluruh perangkat daerah di lingkungan Pemerintah kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Bank, Hotel, Bandara dan lembaga pemerintah di kota Palembang untuk mengenakan pakaian adat Palembang setiap hari Jumat setiap minggunya.

Untuk melakukan pengawasan dalam menjalankan kewajiban ini, Wali Kota menunjuk Sekda sebagai ketua tim pengawas dan monitoring untuk memastikan Perwali ini berjalan sebagai mana mestinya, dibantu oleh Kepala Dinas Kebudayaan sebagai sekretaris tim. 

Aturan wajib untuk mengenakan pakaian adat Palembang ini sempat berjalan beberapa waktu sebelum kemudian mandul dengan sendirinya. Saat ini tidak lagi terlihat ASN di Pemkot Palembang yang memakai pakaian adat setiap hari Jumat. Apalagi instansi lain, seperti yang tertuang dalam belaid tersebut. 

"Solusi yang mandul, saat kemudian Pemkot sendiri yang tidak menjalankannya. Sehingga wajar kalau budaya Palembang semakin terkikis. Pemerintah seharusnya punya langkah konkrit, jangan hanya pencitraan," kata pengamat Bagindo Togar. 

Padahal menurutnya, dengan hadirnya Perwali tentang pakaian adat ini, Pemkot Palembang seolah merasa telah menemukan solusi untuk memasyarakatkan budaya Palembang. Hal inipun sempat mendapat dukungan dari berbagai pihak. Meskipun akhirnya lagi-lagi, menurut Bagindo, komitmen itu tidak disertai dengan konsistensi untuk menjalankan komitmen tersebut.

Minimnya inovasi dan upaya konkrit yang dilakukan oleh Pemkot Palembang untuk menghargai nilai sejarah dan budaya ini diamini oleh pegiat budaya Vebri Al Lintani. Selama ini, menurutnya yang dilakukan oleh Pemkot Palembang hanya kegiatan yang sifatnya seremonial. 

"Even, lomba, yang sifatnya seremonial dan tidak membekas. Baik untuk kota Palembang ataupun Sriwijaya yang dilakukan oleh Pemprov Sumsel," jelasnya. 

Sementara saat berencana menggelar hal tersebut, pemerintah menurut Vebri juga kerap mengeluhkan anggaran dan selalu mengandalkan sponsor yang kemudian membuat maksud dan tujuan peringatan itu sendiri menjadi bias. Termasuk saat Sekda Ratu Dewa kemudian kesal dengan anak buahnya yang seolah adem ayem jelang peringatan HUT Palembang.

"Jadi jangan salahkan masyarakat yang lempem kalau Pemerintah Kota sendiri tidak mempunyai kebijakan untuk lebih menggairahkan itu, pemerintahlah yang seharusnya menjadi trigger (pemicu)" kata Vebri. 

Melihat apa yang terjadi saat ini, anggota DPRD kota Palembang Sutami Ismail juga turut menyesalkan. Selain tidak ada gaung, hari jadi kota Palembang tidak dipublikasikan dengan baik oleh Pemkot Palembang. "Padahal, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, Palembang bisa bersaing dari segi sejarah dan budaya," ujarnya.

Lebih jauh, Pemkot Palembang menurutnya juga harus bergerak cepat agar sikap apatis generasi penerus ini bisa diarahkan kembali untuk mencintai budaya asli Palembang. Diantaranya melalui program dan kegiatan yang konkrit, tanpa terkesan saling menyalahkan antar pejabat seperti saat ini.

“Jakarta sudah ada Pekan Raya Jakarta yang identik dengan HUT Jakarta. Bahkan pemerintahnya punya rangkaian acara yang bertajuk Jakarta Hajatan sebagai ganti istilah HUT Jakarta. Sementara di Bogor kita lihat mereka punya rangkaian acara pameran UMKM, festival budaya dan sebagainya yang bertajuk Balai Kota Open. Lalu, Palembang punya apa?" tanya M Hibbani anggota DPRD Kota Palembang dari fraksi PKS yang juga dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel. 

Jelang HUT Palembang tahun ini, Hibbani menilai kepedulian Wali Kota Harnojoyo dan jajaran sudah sangat berkurang untuk memajukan kota Palembang. Padahal, semua sumber daya, keuangan, anggaran, personil sudah dimiliki. Sehingga kembali lagi, komitmen pemerintahlah yang menurutnya patut dipertanyakan oleh masyarakat. 

“Secara pribadi saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-1339 kota Palembang tercinta, kota paling tua yang kini mulai terlupakan bahkan oleh pemerintahnya sendiri," kata Hibbani.