Mengenal Budaya Semon Wong Palembang, Tradisi yang Dinilai Telah Dicederai oleh Konten Rendang 200 Kg Willie Salim

Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja/ist
Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja/ist

Budaya dan adat istiadat masyarakat Palembang menjadi sorotan setelah viralnya video konten kreator Willie Salim yang memasak rendang 200 kg di Benteng Kuto Besak (BKB).


Peristiwa yang berujung pada rebutan makanan itu menimbulkan stigma negatif terhadap masyarakat Palembang dan memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Kesultanan Palembang Darussalam.

Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH Mkn, menegaskan bahwa budaya masyarakat Palembang tidak mencerminkan perilaku seperti yang terlihat dalam video tersebut.

Menurutnya, masyarakat Palembang merasa direndahkan akibat komentar warganet yang menyudutkan mereka sebagai rakus dan tidak berbudaya.

Salah satu nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Palembang adalah “Semon”, yang berarti malu dalam konteks harga diri dan kesopanan.

Tradisi ini menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam tata cara bersosialisasi dan bersantap.

Dalam budaya semon, seseorang tidak akan makan di suatu tempat jika belum mendapat tawaran dari tuan rumah. Masyarakat Palembang juga pantang menunjukkan sikap rakus atau kemaruk dalam sebuah jamuan makan.

Ada aturan tak tertulis yang mengajarkan bahwa tamu harus menunggu tuan rumah memberikan isyarat sebelum menikmati hidangan.

Selain itu, tradisi penyajian makanan dalam budaya Palembang juga sarat dengan tata krama. Konsep “Sajian Kambang” dan “Sajian Buluh” merupakan contoh bagaimana tamu dijamu dengan penuh penghormatan.

Hidangan akan disajikan secara tertata, dan tamu tidak diperkenankan melayani diri sendiri, melainkan dijamu oleh tuan rumah dengan tata cara yang rapi dan penuh adab.

Kejadian dalam video Willie Salim, yang memperlihatkan masyarakat berebut daging rendang, dianggap bertentangan dengan budaya semon wong Palembang.

Sultan SMB IV menilai kejadian tersebut terjadi akibat kurangnya persiapan dan ketidakpahaman kreator konten terhadap adat setempat. Ia menegaskan bahwa segelintir orang yang terlibat dalam kejadian tersebut tidak dapat mewakili seluruh masyarakat Palembang.

“Kita tidak ingin nama baik kita tercemar akibat konten yang tidak menggambarkan budaya kita yang sebenarnya,” ujar SMB IV.

Kesultanan Palembang Darussalam pun mendesak Willie Salim untuk mengklarifikasi kejadian tersebut dan meminta maaf secara langsung, bukan hanya melalui video di media sosial. Selain itu, pihak Kesultanan juga meminta agar video tersebut segera dihapus dari seluruh platform media sosial.

Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, masyarakat Palembang bahkan siap menempuh jalur hukum dan mengeluarkan maklumat yang melarang Willie Salim untuk kembali ke Palembang.

Insiden ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk lebih menghormati budaya dan kearifan lokal dalam setiap aktivitas, terutama yang terekam dalam konten digital.

Masyarakat Palembang berharap kejadian ini tidak terulang lagi dan meminta agar nilai-nilai budaya semon terus dijaga dan dihormati oleh siapapun yang berkunjung ke Palembang.

Sebagai kota dengan sejarah dan kebudayaan yang telah berdiri selama 1.400 tahun, Palembang memiliki nilai-nilai luhur yang harus tetap dijaga.