Kebijakan larangan menggunakan plastik sekali pakai sebaiknya ditinjau ulang karena tidak menyelesaikan permasalahan sampah dan lingkungan. Justru sebaliknya, mengancam PHK-nya dratusan ribu tenaga kerja.
- Kunci Hilang
- Alhamdullilah Sylviana Mulai Membaik
- Remaja Ini Bikin Geger, Warga Berkerumun di Dekat Pohon Alpukat
Baca Juga
Demikian salah satu kesimpulan dari webinar bertajuk “Apakah single-use plastic ban merupakan solusi dari masalah lingkungan di Indonesia?” yang digelar Yok Yok Ayok Daur Ulang! (YYADU!), Selasa, 29 September 2020.
YYADU! merupakan sebuah program inisiasi daur ulang keberlanjutan yang dibuat oleh PT Trinseo Materials Indonesia dan juga didukung oleh Kemasan Group.
Webinar dipandu Hanggara Sukandar, Sustainability Director dari Responsible Care Indonesia, yang merupakan inisiatif sukarela dari industri kimia global yang dibentuk untuk meningkatkan performa lingkungan, kesehatan, keselamatan, dan keamanan fasilitas, proses, serta produk dengan prioritas utama kami pada keberlanjutan / sustainability.
Hadir juga dalam webinar Dr Jessica Hanafi, pakar teknis ISO (International Organization of Standardization)dan juga Advisory Committee untuk UN Environment Life Cycle Initiative untuk Social LCA, dr. Kardiana Dewi, Sp.KK, praktisi medis, Wahyudi Sulistya, Direktur Kemasan Group, dan Prispolly Lengkong Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia.
Pelarangan penggunaan plastik sekali pakai telah menjadi isu yang marak di tahun 2020, terutama setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mensahkan regulasi pelarangan penggunaan plastik sekali pakai untuk kantong berbelanja.
“Kebijakan ini tentu saja akan berdampak pada aspek lain, seperti tenaga kerja, setidaknya lebih dari 170 ribu orang yang bekerja di industri plastik di Indonesia akan terkena dampaknya jika mentalitas ‘pelarangan’ seperti ini terus dibudayakan”, ujar Wahyudi Sulistya.
Selain itu, menurut Wahyudi, saat ini, belum ada pengganti plastik dari segi emisi karbon, fungsi, durabilitas, dan harga. “Setiap hari, kita ini menggunakan plastik karena kita membutuhkannya, ketika larangan penggunaan single-use untuk tas berbelanja disahkan, tas bungkusan pengganti yang saat ini menjadi opsi dan banyak digunakan untuk bungkusan, seperti spunbound ataupun paper bag pun juga memiliki lapisan plastik Polypropylene atau PP, yang membuat itu water-proof kan lapisan plastiknya”, tambahnya.
Bahkan, masker surgical seperti 3Ply saja memiliki lapisan plastik juga, bisa dibayangkan, tidak mungkin kita melarang penggunaan single-use plastic padahal lapisan plastic sangat kita butuhkan sehari-hari, apalagi di tengah pandemi.
“Jika perhatian pemerintah dan masyarakat ada pada sampah single-use plastic, harusnya sampah masker juga menjadi perhatian, yang sekarang sudah menumpuk”, ujar Wahyudi. “Artinya, memang solusinya tidak bisa kita larang plastiknya, melainkan waste management”, katanya.
Sebagian opsi subtitusi kantong plastik saat ini juga ternyata masih memiliki lapisan plastik, belum lagi, harganya yang juga tidak murah jika dibeli oleh konsumen dibandingkan dengan kantong plastik.
Menurut Prispolly Lengkong, profesi pemulung juga menjadi salah satu subjek yang terkena dampak egative dari kebijakan tersebut. “Setidaknya ada 3 juta lebih pemulung belum termasuk keluarganya yang akan terdampak dengan diberlakukannya kebijakan larangan single-use plastic. Sampah plastic memiliki nilai ekonomi yang tinggi termasuk menjadi plastik lagi”, ujarnya.
Saat berbicara dari aspek kesehatan dan medis, dr. Kardiana menjelaskan tentang karakter cross contamination COVID-19, “Virus ini memiliki karakter penyebaran cross contamination atau kontaminasi silang. Hal ini berarti proses berpindahnya virus secara tidak sengaja dari suatu benda atau seseorang ke benda lainnya, kemudian berpindah lagi ke seseorang ketika terjadi kontak fisik.
“Sehingga, menjaga kesehatan di tengah pandemic COVID-19 dengan karakter kontaminasi silang tersebut, memang mengharuskan kita untuk ekstra higienis dan berhati-hati, terutama bagi mereka yang berkegiatan di luar rumah. Saat masuk ke rumah, kalau bisa barang yang dibawa dari luar tidak masuk ke dalam, dalam hal ini seperti tas belanja”, tambahnya.
Kardiana juga memberikan tips untuk menjaga higienitas di tengah pandemik ini, yakni dengan cara menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, tepat dan benar. Seperti yang kita ketahui Covid-19 dapat bertahan hidup di permukaan benda. Sehingga kita harus lebih rajin membersihkan permukaan berbagai barang seharihari yang sering disentuh, rentan terkontaminasi atau berpotensi menjadi sumber penularan dengan menggunakan disinfektan.
Di dunia medis penggunaan single-use disarankan untuk menjaga higienitas di tengah pandemik ini agar meminimalisir resiko terpapar virus. Ia memberikan juga contoh keseharian petugas medis yang mayoritas menggunakan alat single-use, termasuk juga APD, dan single-use surgical mask yang menjadi sangat krusial di masa pandemi ini .
Seiring dengan komentar Dr. Kardiana mengenai preferensi single-use di tengah pandemi, Wahyudi Sulistya juga mengatakan, terjadi peningkatan dari permintaan kemasan single-use PS Foam.
Hal ini berkaitan dengan regulasi PSBB dan larangan makan di tempat, sehingga makanan pesan-antar menjadi pilihan, dan PS Foam merupakan kemasan makanan yang secara fungsi memang dapat menjaga ketahanan suhu makanan dingin dan panas, sehingga makanan dari restoran bisa sampai ke tangan konsumen di rumah dengan kualitas yang baik. Selain itu, faktor higienitas dan kekhawatiran masyarakat juga dinilia dapat menjadi kontributor dari meningkatnya permintaan ini.
Sementara itu, Jessica Hanafi menjelaskan mengenai cara menilai eco-friendly atau tidaknya sebuah barang yang harus dinilai secara holistik, tidak bisa hanya dinilai dari hilir saja atau dari biodegradable atau tidak.
“Suatu produk tidak hanya bisa dilihat atau dipotret hanya pada satu tahap dalam hidupnya,” katanya.
Jika dilihat hanya pada satu atau dua tahapan dari masa hidup suatu produk, akan terjadi pergeseran dampak lingkungan. Penilaian potensi dampak lingkungan suatu produk dapat dilakukan melalui metode Life Cycle Assessment, yang standarnya sudah diadopsi menjadi SNI ISO 14040 dan 14044 pada tahun 2016 dan 2017.
Berdasarkan beberapa studi LCA yang dikaji oleh UN Environment dalam publikasinya mengenai “Single-Use Plastic Bags and their alternatives: Recommendations from Life Cycle Assessment”, banyak parameter yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan terkait penggunaan atau pelarangan plastik karena banyak implikasi yang dapat terjadi yang juga mengakibatkan dampak lingkungan yang lebih berat.”
“Reusable bags yang dirancang untuk digunakan berkali-kali mempunyai dampak lingkungan yang lebih rendah daripada single-use plastic Polyethylene (PE) bag. Namun tergantung dari jenisnya, reusable bag harus digunakan sampai puluhan kali bahkan lebih dari 150 kali untuk tas dari bahan katun. Tergantung dari perilaku konsumen, jumlah ini bisa saja tidak tercapai. Sementara itu untuk material biodegradable dalam praktek manajemen limbahnya harus dikondisikan sedemikian rupa dalam penanganannya agar dapat terurai dalam sistem komposting.“ lanjut Jessica
Solusi dari masalah sampah lingkungan bukanlah pelarangan, melainkan waste management. Sudah seharusnya terdapat tata kelola sampah yang baik dari hulu ke hilir, dan ini bisa dicapai melalui kerjasama yang sinergis antara masyarakat, pemerintah dan swasta.
Diskusi ini merupakan seri pertama dari total 12 rangkaian webinar edukasi yang akan dilakukan oleh YYADU! dalam 6 bulan ke depan. Program YYADU! sendiri telah mendapatkan berbagai macam dukungan baik dari organisasi, pemerintah maupun swasta. Saat ini, YYADU! bekerja sama dengan YAKSINDO dan Kemasan Group dalam pilot projek waste management end-to-end di Kota Tegal yang akan dievaluasi dalam waktu dekat.[ida]
- Kunci Hilang
- Alhamdullilah Sylviana Mulai Membaik
- Remaja Ini Bikin Geger, Warga Berkerumun di Dekat Pohon Alpukat