Kritisi Pemerintah, Jurnalis Perempuan di China Dapat Ancaman 

Ilustrasi serangan cyber. (Ilustrasi/Net)
Ilustrasi serangan cyber. (Ilustrasi/Net)

 China lagi-lagi melanggar kebebasan berekspresi. Lembaga pemikir Australia, Institut Kebijakan Strategis (ASPI), mengungkapkan temuannya bahwa China telah mengancam jurnalis dan peneliti wanita secara online, terutama mereka yang bersikap terlalu kritis.


Ancaman dan pelecehan jurnalis perempuan asal Asia oleh China ini telah meningkat dalam satu tahun terakhir.

Pelecehan sebagian besar dilakukan di Twitter dan berkisar dari penghinaan tentang penampilan seseorang hingga tuduhan sebagai pengkhianat. Mereka juga memasukkan ancaman kekerasan dan pemerkosaan.

Tujuan dari pelecehan tersebut adalah untuk membungkam jurnalis wanita dan mendiskreditkan liputan kritis mereka tentang China.

Selama ini, media-media di China di bawah kontrol pemerintah, menurut ASPI. Berita yang disajikan datang hanya dengan mengutip media pemerintah. Media tidak memiliki kebebasan seperti di negara-negara demokrasi lainnya di seluruh dunia.

Pusat Jurnalis Internasional dalam laporannya pada 2022 menemukan bahwa hampir tiga perempat jurnalis wanita yang disurvei mengatakan bahwa mereka pernah mengalami ancaman online dari Tiongkok.

Dari jumlah tersebut, 30 persen mengatakan mereka menarik diri dari media sosial, sementara 20 persen berhenti memposting tentang China. Beberapa mengatakan bahwa pelecehan tersebut menyebabkan mereka meninggalkan profesi mereka.

"Pelecehan tersebut menggambarkan bagaimana serangan online dapat digunakan oleh pemerintah otoriter di luar perbatasan untuk mengintimidasi dan membungkam jurnalis,” kata Nadien Hoffman, wakil direktur International Women's Media Foundation (IWMF) yang berbasis di Washington.

China tidak akan berhenti mengerjai jurnalis karena kampanye advokasi, menurutnya.

“Kami membutuhkan sumber daya keamanan digital yang lebih kuat di ruang redaksi dan kebijakan yang lebih ketat terhadap penyalahgunaan online,” kata Hoffman. Hanya dengan begitu itu akan membantu mengurangi dampak dari serangan China ini.

ASPI mengklaim ada kemungkinan ancaman dan pelecehan itu dilakukan oleh sebuah jaringan yang disebut 'spamoflage'.

Spamoflag adalah jaringan luas di akun media sosial yang terhubung ke Beijing. Ini pertama kali diidentifikasi pada 2019. Melalui ini, ancaman diberikan kepada jurnalis terkait laporan media tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, selain dari demonstrasi pro-Hong Kong, pendukung Taiwan dan Kovid-19.

Namun, atas nama pemerintah China, juru bicara Liu Pengyu mengatakan bahwa negaranya mengutuk pelecehan terhadap jurnalis perempuan. Dia menentang menghubungkan serangan ini dengan pemerintah China tanpa bukti.