Korupsi Dana Hibah Pemilu, Delapan Komisioner Bawaslu Muratara Dituntut Hukuman Berbeda

Sidang dengan agenda tuntutan terhadap delapan orang komisioner Bawaslu Muratara terkait dugaan mark up dana hibah yang digunakan untuk pemilu. Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Rabu (5/10). (Amizon/RmolSumsel.id)
Sidang dengan agenda tuntutan terhadap delapan orang komisioner Bawaslu Muratara terkait dugaan mark up dana hibah yang digunakan untuk pemilu. Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Rabu (5/10). (Amizon/RmolSumsel.id)

Sebanyak delapan orang komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi dana hibah tahun anggaran 2019-2020, menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu (5/10).


Para terdakwa tersebut yakni Munawir selaku ketua Bawaslu Muratara, Hendrik, kemudian Paulina dan Muhammad Ali Asek yang menjabat sebagai komisioner. Lalu Siti Zuhro sebagai Bendahara, Korsek Bawaslu Tirta Arisandi, Aceng Sudrajat staff Bawaslu, dan Staff Bawaslu Kukuh Reksa Prabu.

Dalam sidang yang dipimpin hakim Efrata Heppy Tarigan, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lubuklinggau menyatakan menuntut kedelapan terdakwa dengan hukuman pidana penjara masing-masing 6 hingga delapan tahun dan uang pengganti mulai dari Rp 165 juta sampai Rp 825 juta.

Selain  tuntutan pidana penjara, JPU juga menambahkan hukuman denda Rp 500 juta kepada setiap terdakwa dengan subsider 3 bulan kurungan.

“Para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat (1),” tegas tim JPU dalam persidangan, Rabu (5/10).

Dalam dakwaannya, JPU Kejari Lubuklinggau menyatakan bahwa para terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dana hibah untuk kegiatan pelaksanaan Pileg dan Pilpres tahun 2019, serta Pilkada Muratara tahun 2020 dengan total mencapai Rp 2,5 miliar.

“Dalam realisasinya, Bawaslu Muratara diduga melakukan markup terhadap biaya sewa gedung laboratorium komputer SMA Bina Satria untuk kegiatan seleksi Panwascam, Rp 40 juta. Namun nyatanya pihak SMA Bina Satria hanya menerima uang sewa Rp 11 juta,”ujarnya.

Kemudian anggaran belanja fiktif untuk publikasi pada media masa sebesar Rp 30 juta.

“Selain itu,  Munawir selaku ketua Bawaslu, membagi-bagikan dana hibah tersebut kepada para terdakwa dengan kisaran masing-masing mencapai ratusan juta,”jelas JPU.