Kekerasan Terhadap Perempuan di Palembang Masih Besar

Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

Peringatan International Women's Day setiap tanggal 8 Maret menjadi panggung bagi perempuan di seluruh dunia untuk menyuarakan tuntutan yang selama ini masih sangat terbatas. Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi data yang turut dibawa untuk mengkampanyekan bahwa hingga hari ini posisi perempuan masih terbilang mengkhawatirkan.


Bersamaan dengan diperingatan pada hari ini (8/3), Direktur Women Crisis Center (WCC) Palembang, Yesi Ariyani menyebutkan bahwa angka kekerasan seksual yang terjadi di kota Palembang masih terbilang besar, sepanjang tahun 2020 sedikitnya ada 113 kasus yang tercatat dan 108 kasus di tahun berikutnya.

"Secara data memang tidak mengalami penurunan secara signifikan, ini hanya sebatas angka. Tetapi sama seperti halnya kemarin-kemarin, kekerasan terhadap perempuan bagaikan fenomena gunung es," katanya saat dibincangi, Selasa (8/3).

Dikatakannya bahwa kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan khususnya di Palembang diyakini masih banyak yang belum terlapor.  Bahkan untuk kasus yang terlapor pun, WCC tidak merincikan data kasus secara detail, berapa banyak pelaku yang berhasil divonis dan yang selesai.

"Sedangkan untuk kategori kasus yang turut kami dampingi diantaranya kekerasan seksual, KDRT dan kasus kekerasan dalam pacaran. Dengan catatan kasus terbanyak yakni pada kekerasan seksual kemudian disusu dengan KDRT," bebernya. 

Kemudian diantara beberapa kasus yang ada, kekerasan seksual dalam pacaran diakui Yesi menjadi salah satu yang paling sulit dan rumit untuk dilakuakn penyelesaian pada proses hukum, mengingat nihilnya perlindungan korban dengan alasan bahwa tindakan yang terjadi berdasarkan keinginan dan kesadaran antara pelaku dan korban.

"Kadang dari pihak kepolisian mengatakan bahwa kekerasan dalam hubungan pacaran sebetulnya tidak ada. Alasannya adalah karena mereka melakukan tindakan tersebut atas dasar suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan," bebernya.

Namun, Yesi menyakini pada kasus diatas korban malah lebih sering mendapat ancaman dari pelaku, baik secara verbal ataupun nonverbal

"Nah, ancaman inikan bentuknya bukan hanya pisau di pinggang saja, tapi diimingi janji akan dinikahi dan yang lainnya itu termasuk dalam ancaman dengan kategori nonverbal," sambungnya.

Saat ditanyai soal penyelesaian kasus atas korban, Yesi lanjut menjelaskan terkadang beberapa korban tidak sepenuhnya meminta pendampingan kepada WCC dalam hal advokasi, mereka ada yang hanya membutuhkan layanan konseling. Biasanya, hal ini terjadi karena minimnya dukungan orang-orang terdekat kepada korban dalam menyelesaikan masalah yang terjadi atau bahkan malah korban yang disalahkan.

"Kebanyakan korban tidak menginginkan adanya putus tali pernikahan misal kalau pada kasus KDRT, tetapi mereka hanya ingin memutuskan rantai kekerasan," ungkapnya.

Secara umum kekerasan yang sering menimpa perempuan, rentan terjadi karena beberapa faktor salah satunya yakni dengan masih banyaknya masyarakat yang menganut budaya patriarki dan menempatkan perempuan sebagai golongan yang lemah dan laki-laki sebagai kaum yang mendominasi dalam segala segemen, baik pekerjaan, rumah tangga, pendidikan dan jabatan. Lalu, kondisi ekonomi juga menjadi pemicu terjadinya KDRT, selain dari tabiat buruk yang juga dimiliki laki-laki.

"Melihat kondisi ini, WCC gencar berkontribusi untuk mengesahkan kebijakan yang pro terhadap perempuan korban kekerasan, dalam hal ini salah satu yang didukung adalah kebijakan untuk segera disahkan ancaman tindak pidana kekerasan seksual yang didalamnya telah mengakomodir kebutuhan-kebutan korban kekerasan," kata dia lagi.

Lalu, terus mengedukasi perempuan untuk terus berani mengatakan tidak terhadap kekerasan, menolak dan speakup. Mencari tempat perlindungan terdekat atau bisa menghubungi lembaga layanan yang pro terhadap perempuan. 

"WCC juga terus melakukan sosialisasi ke masyarakat mengenai pemahaman kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana cara melindungi diri ketika telah menjadi korban atau berada pada situasi yang mengancam" ungkapnya.

Terakhir disampaikan Yesi, kekerasan seksual dari laporan yang masuk ke WCC paling banyak terjadi pada usia anak-anak dan remaja, ini menjadi sebuah ancaman bagi mereka. Apabila mereka telah menjadi korban kekerasan khususnya seksual, tentu trauma yang diterima akan panjang dan sulit dipulihkan.

"Harapan saya dengan adanya perayaan hari perempuan internasional ini kita bisa mendapat ruang kemerdekaan atas hak kita saat menjadi korban kekerasan. Terlebih, perempuan bisa berani untuk mengadu, menolak atau berkata tidak pada situasi yang mengancamnya tadi," tutupnya.