Hoax dan Konspirasi dalam Fenomena Penghakiman Publik

Ilustrasi hoax. (ist/rmolsumsel.id)
Ilustrasi hoax. (ist/rmolsumsel.id)

Ada yang mengatakan, penembakan terjadi karena motif perselingkuhan atau pun motif Birgadir J adalah orang yang memegang rahasia penting Irjen Ferdy Sambo sehingga perlu disingkirkan oleh Irjen Ferdy Sambo.

Hold your opinion, ini bisa persekusi! Jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran.

Kenapa persekusi? Karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah, ini baru opini tanpa data. Pengacara keluarga Birgadir J menyatakan kejanggalan mengenai luka di tubuh Brigadir J juga masih merupakan dugaan, bisa jadi benar, bisa jadi juga salah.

Namun pernyataan pengacara tersebut bisa mendorong publik untuk berspekulasi karena narasi yang bernuansa konspiratif lebih membuat orang tertarik dengan narasi tersebut. Individu tertarik pada narasi konspirasi karena kebutuhan akan pengetahuan dan kepastian dari suatu informasi, terlebih ketika peristiwa besar terjadi, individu tentu ingin tahu mengapa hal tersebut itu terjadi.

Mereka ingin penjelasan dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin akan “kebenaran” itu (Douglas, 2017).

Gencarnya pemberitaan dari media dan juga narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dari kasus penembakan di Duren Tiga menggiring opini Anda secara tidak langsung dan bertransformasi menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga Irjen Sambo. Namanya penghakiman pasti ada judgement, di sini menurut saya adalah letak permasalahannya.

Saya akan mencoba membedah fenomena ini dari perspektif psikologi sosial. Paradigma kognitif yang dapat mendorong collective action adalah beliefs in fake news dan conspiratorial thinking (Mashuri, 2021).

Fake news atau berita palsu adalah informasi yang dibuat-buat, melanggar standar norma editorial dan meniru konten media berita sedemikian rupa sehingga berita palsu tampak tidak dapat dibedakan dari berita nyata (Lazer et al., 2018 ; Tandoc et al., 2018).

Berita palsu terkait erat dengan era post-thruth yang didorong oleh massifnya penggunaan media sosial saat ini. Berita palsu dianggap merusak legitimasi pengambilan keputusan berbasis bukti pada berbagai isu sosial yang penting (Roozenbeek & Van Der Linden, 2019).

Politik post-truth adalah sebuah label yang ditandakan dengan fenomena umum bahwa opini masyarakat tentang isu-isu sosial lebih banyak dibentuk oleh berita palsu, termasuk hoax dan rumor, dibandingkan dengan bukti dan data yang reliabel (Glăveanu, 2017).

Terdapat contoh dalam beberapa tahun terakhir yang menunjukkan bagaimana berita palsu dapat dengan mudah memprovokasi aksi atau protes kolektif yang penuh kekerasan.

Misalnya, di Jerman, berita palsu yang dibagikan di media sosial diakui sebagai faktor pemicu 'kerusuhan Chemnitz': yang melibatkan demonstrasi besar-besaran oleh kelompok sayap kanan, termasuk pendukung Neo-Nazi, yang menyerukan pemberantasan imigran Muslim (Dikov, 2018).

Di India, berita palsu penculikan anak dan pengambilan organ yang disebarkan melalui pesan WhatsApp telah memicu hukuman mati tanpa pengadilan, yang mengakibatkan tujuh orang terbunuh (Phartiyal et al., 2018).

Contoh lain baru-baru ini dari Indonesia terjadi ketika berita palsu tentang komentar rasis seorang guru sekolah menengah tentang seorang siswa memicu kerusuhan di Wamena, Papua Barat, Indonesia, yang mengakibatkan kematian setidaknya dua puluh tujuh orang.

Seperti yang dikatakan oleh Rocky Gerung di media massa, publik harus bisa memisahkan apa yang faktual dan hal yang sensasional. Tantangannya adalah individu dalam memisahkan kedua hal tersebut dibutuhkan kemampuan berpikir jernih dan kritis, sayangnya individu sebagai manusia cenderung berpikir menggunakan cara yang heuristic atau simplistic, sehingga wajar jika narasi konspirasi yang berkembang bisa ditelan mentah-mentah dan dianggap sebuah kebenaran bagi mereka.

Mengapa penting untuk saya menulis ini? Karena bukan hanya publik secara umum yang terpengaruh dengan berita bohong ataupun pemikiran konspiratif yang sangat renyah, tapi para penyidik dan timsus di lapangan bisa menjadi tidak objektif dalam menangani kasus ini.

Khawatir terpapar informasi di media sosial, penyidik dan timsus bisa menjadi bias dalam bekerja dan mengambil keputusan semata untuk memuaskan keinginan publik.

Jangan sampai kasus ini menjadi sebuah paradoks bagi penegakan hukum di Indonesia. Biarkan para penyidik dan timsus bekerja karena timsus ini terdiri dari pihak eksternal yang kredibel seperti Komnas HAM.

Tulisan saya ini adalah cuplikan dari sebuah fenomena yang dibedah dengan dasar penelitian sebelumnya dan teori yang kutip dalam tulisan ini.

Tentu akan ada persepektif lain yang bisa menjadi penjelasan fenomena yang saat ini sedang booming. Namun pesan saya, kita sebagai publik baiknya menunggu dan jangan dulu berasumsi, biarkan timsus bekerja secara objektif dan maksimal.

*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba)