Harryadin: Opsi Pemerintah Lockdown atau Pembatasan Wilayah

Pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEB UI) Rus'an Nasrudin menyarankan pemerintah untuk segera menerapkan lockdown atau pembatasan wilayah serta menjaga ketahanan fisik dan mental tenaga medis yang berada di garis depan. Fokus pada kedua hal tersebut akan mampu mengurangi dampak resesi ekonomi yang timbul akibat pandemi Covid-19 saat ini.



Memang iya kondisi pandemi bisa menimbulkan resesi, tapi kita juga harus punya keyakinan, dengan mengondisikan containment policy (lockdown) yang baik kita bisa mengurangi dampak resesi tersebut,” terang Rus’an pada diskusi daring yang digelar Policy, Sabtu (28/3).
Menurutnya, kebijakan pembatasan wilayah yang ketat dipandang dapat menekan angka penyebaran virus dengan lebih baik.


Hal ini penting dilakukan untuk menghindari konsekuensi lebih besar dari tidak melakukan pembatasan wilayah. Selain itu pemerintah harus memikirkan aspek ketahanan fisik dan mental tenaga medis yang berada di garis depan. 


 “Jika tenaga medis sampai tumbang, konsekuensi ekonomi akan lebih luas, karena penanganan pasien akan berhenti dan tidak terkendali penyebarannya,” papar Ru’an.
Indonesia seharusnya bisa belajar dari sejarah dunia saat menghadapi pandemi sejenis. Ia mengambil contoh ketika terjadi pandemi Spanish Flu pada tahun 1920-an. 


Sebuah studi menemukan bahwa, kota-kota di Amerika yang menghadapi pandemi dan melakukan kebijakan lockdown yang cepat dan ketat, ternyata lebih cepat mengalami pemulihan dari resesi ekonomi.


Lebih jauh, Rus’an menyatakan ada beberapa kebijakan ekonomi yang bisa dilakukan di level nasional untuk menopang pilihan pembatasan wilayah. 


Pertama, pemerintah harus mengidentifikasi kelompok vulnerable akan resesi ekonomi. Kedua, pemerintah harus melakukan realokasi anggaran. Ketiga, pemerintah diminta untuk mengantisipasi inflasi dengan kebijakan cash transfer.


Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari UI Harryadin Mahardika mengungkapkan dua opsi yang bisa diambil negara berkembang dalam penanganan Covid-19.

 
Pertama, melakukan lockdown yang kuat dinilai akan membuat GDP turun lebih cepat, tapi pemulihan juga lebih cepat. Pada kebijakan ini, produksi juga terancam menurun karena pabrik juga terpaksa tutup sementara waktu. Sisi supply dan demand akan turun bersamaan.


Opsi kedua, melakukan kebijakan pembatasan wilayah yang longgar, seperti social distancing yang dilakukan saat ini, GDP turun lebih mendatar, tapi pemulihan akan lebih lama karena yang coba dilakukan memberikan ruangan lebih besar bagi aktivitas ekonomi untuk terus bergerak.


 “Dua model di atas punya implikasi dan konsekuensi dalam perekonomian. Tidak banyak teori ekonomi yang menjelaskan tentang fenomena wabah seperti corona,” ujar Harryadin.
Meski begitu, ia menyebut, Indonesia bisa meniru langkah kebijakan Presiden Amerika Donald Trump dengan menggunakan undang-undang untuk memobilisasi perusahaan-perusahaan agar membantu produksi alat-alat yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19, seperti ventilator dan APD. 


Harryadin juga menyebutkan dalam mencari sumber anggaran, Pemerintah bisa melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menggunakan anggaran dari Bendahara Umum Negara. 


”Anggaran ini otorisasinya ada di Presiden dan Menkeu, bisa digunakan untuk lima hal, salah satunya kondisi darurat terkait wabah penyakit ini. Tidak perlu ada prosedur anggaran mengikat,” ungkap Harryadin.


Menanggapi kondisi dilema yang dihadapi pemerintah terkait penanganan penanganan pandemi Covid-19, Ketua Policy Center ILUNI UI M. Jibriel Avessina nyatakan siap memberikan usulan kepada pemerintah.


 “Setelah diskusi ini, Policy Center ILUNI UI akan membuat ringkasan kebijakan yang akan diusulkan kepada pemerintah dari sisi ekonomi,” kata Jibriel.[ida]