Dua ASN PALI Terlibat Korupsi Segera Dipecat

ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)
ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) segera memproses pemecatan dua Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungannya yang terjerat kasus korupsi.


Keduanya yakni mantan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabuaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Son Haji dan mantan Bendahara DPRD PALI, Frans Wahyudi. 

Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten PALI, Deasy Rosalia mengatakan, pemecatan keduanya berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN. 

"Berdasarkan pasal 250 poin d PP nomor 11 tahun 2017, PNS yang di pidana penjara paling singkat dua tahun, maka terhadap PNS tersebut akan dilakukan pemberhentian tidak hormat," kata Deasy. 

Untuk proses selanjutnya lanjut Deasy, pihaknya menunggu hasil keputusan tetap yang telah diputuskan pada saat sidang oleh Majelis hakim di Pengadilan Tipikor Palembang. 

"Akan segera dilakukan proses pemberhentian jika sudah kami terima hasil keputusan inkrah. Diharapkan prosesnya tidak lama," tegasnya.

Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Palembang menjatuhkan vonis enam tahun penjara terhadap mantan Sekretaris DPRD (Sekwan) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Son Haji (SH). Sementara mantan Bendahara Sekretariat DPRD PALI, Frans Wahyudi (FW) divonis tujuh tahun penjara.

Vonis lebih rendah dari tuntutan JPU Kejari Pali, yang mana dalam sidang sebelumnya, JPU menuntut agar terdakwa Son Haji divonis pidana 7,5 tahun penjara, sementara Frans Wahyudi 8,5 tahun penjara.

Terdakwa Son Haji yang juga merangkap sebagai Pengguna Anggaran (PA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), berdasarkan audit inspektorat ditemukan adanya sejumlah penyimpangan diantaranya penyimpangan dalam perjalanan dinas ke luar dan dalam kota.

Penyimpangan tersebut terkait perjalanan dinas yang dilakukan pimpinan, pegawai serta tenaga kerja sukarela pada sekretariat DPRD PALI pada tahun 2020. Seperti perjalanan dinas yang tidak dilengkapi dengan surat pertanggungjawaban, perjalanan dinas yang tidak dilaksanakan (fiktif) dengan rincian penerimaan pembayaran, serta perjalanan dinas tidak dibayarkan sebagaimana mestinya.

Sehingga, berdasarkan audit inspektorat atas perbuatan para terdakwa ditemukan perhitungan kerugian negara senilai Rp1,7 miliar.