Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi, S.Ant., M.A, membahas dilema kebebasan berpendapat di era digital.
- Tuntutan Mengalir, Akhirnya Paripurna DPR Sahkan Revisi Kedua UU ITE
- Jika Menang Pilpres 2024, Cak Imin Akan Prioritaskan Evaluasi UU ITE
- Revisi UU ITE, Komisi I DPR Janji Hapus “Pasal Karet”
Baca Juga
Ia menekankan adanya pertentangan antara hak untuk mengekspresikan pendapat dan pembatasan yang diberlakukan melalui berbagai regulasi.
Zamzam mengingatkan pentingnya memahami "freedom of expression" atau kebebasan berpendapat. Ia menyoroti bahwa undang-undang di Indonesia, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sering kali tidak mendukung kebebasan ini.
“UU ITE dapat digunakan untuk mengatur perilaku yang beradab di dunia maya, tetapi sering disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis,” katanya di Palembang, beberapa waktu lalu.
Ia mengkritik penerapan UU ITE, di mana kritik sering dianggap sebagai penghinaan. “Antara kritik dan penghujatan sering kali bercampur. Akibatnya, orang yang mencoba menyampaikan kritik bisa dianggap menghina, sehingga undang-undang ini lebih banyak digunakan untuk menekan kritik daripada untuk mengatur perilaku baik di internet,” tambahnya.
Zamzam mengusulkan solusi melalui pengembangan literasi digital, bukan hanya mengandalkan hukum. “Digital literasi harus diajarkan sejak dini, dari TK hingga SD. Ini penting agar anak-anak tidak hanya tahu beretika di dunia maya, tetapi juga memahami konsekuensi dari tindakan mereka, seperti masalah privasi dan pengambilan data,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa program yang dijalankan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum efektif. “Modul sudah disiapkan tetapi tidak digunakan dalam pengajaran. Digital literasi kini hanya dijadikan seminar, bukan sebagai materi ajar yang konkret,” keluhnya.
Festival Digital Literasi di Yogyakarta, menurutnya, lebih fokus pada pertunjukan musik ketimbang edukasi. “Festival seharusnya menjadi wadah untuk meningkatkan pemahaman literasi digital, tetapi kenyataannya lebih banyak diisi oleh pertunjukan band,” kata Dr. Zamzam.
Ia menekankan pentingnya memasukkan digital literasi ke dalam kurikulum pendidikan. “Buku dan modul untuk mengajarkan digital literasi sebenarnya sudah tersedia dan dapat diunduh gratis, tetapi kesempatan ini belum dimanfaatkan secara maksimal dalam pendidikan kita,” tutupnya.
Wakil Dekan I Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Amilda Mhum, mengapresiasi kegiatan tersebut dan mengajak mahasiswa untuk bersama-sama belajar tentang topik penting ini. “Saya berharap banyak skripsi yang lahir tentang digital, dan saya memilih dosen tamu yang memiliki pandangan modern untuk memenuhi keinginan kalian belajar tentang kebudayaan dan digital,” katanya, mendorong mahasiswa untuk memahami kemasan kebudayaan digital.
- Tuntutan Mengalir, Akhirnya Paripurna DPR Sahkan Revisi Kedua UU ITE
- Jika Menang Pilpres 2024, Cak Imin Akan Prioritaskan Evaluasi UU ITE
- Revisi UU ITE, Komisi I DPR Janji Hapus “Pasal Karet”