Buruh di OKI Desak Pembentukan Dewan Pengupahan

Ratusan buruh di OKI saat peringatan May Day di Taman Segitiga Emas. (hari wijaya/rmolsumsel.id)
Ratusan buruh di OKI saat peringatan May Day di Taman Segitiga Emas. (hari wijaya/rmolsumsel.id)

Sejumlah organisasi buruh di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mendesak pembentukan Dewan Pengupahan di wilayah tersebut. Tujuannya agar dapat menentukan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektor (UMSK) secara mandiri.


Hal ini disampaikan dalam peringatan Hari Buruh atau May Day di Taman Segitiga Emas Kayuagung,Rabu (1/5). 

Aksi yang dimotori oleh Federasi Serikat Buruh Perkebunan Patriotik Indonesia (F-Sarbupri) ini menyuarakan berbagai tuntutan terkait kesejahteraan dan perlindungan pekerja.

Selain pembentukan Dewan Pengupahan, tuntutan lainnya yakni menolak sistem kerja kontrak (outsourcing) dan pemagangan, pemutusan hubungan kerja (PHK), union busting (pemberangusan serikat pekerja), dan kriminalisasi aktivis buruh. Lalu meminta penguatan jaminan social dan menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya.

Koordinator Aksi Saiful Ansori menyampaikan bahwa tuntutan tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya jumlah perusahaan dan perkebunan kelapa sawit di OKI. 

"Kami ingin seperti Kabupaten Muba dan Banyuasin yang sudah memiliki UMK tersendiri," kata Ansori.

Menanggapi tuntutan buruh, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) OKI, Irawan, menyatakan bahwa pihaknya akan mempelajari dan membahas tuntutan tersebut secara menyeluruh. 

"Kami akan merekomendasikan metode perhitungan yang sesuai, apakah UMK atau UMP (Upah Minimum Provinsi) yang lebih tinggi digunakan," jelas Irawan.

Irawan juga menjelaskan bahwa UMP di OKI lebih tinggi dari rata-rata provinsi, yakni sekitar Rp 3,4 juta, sedangkan UMK hanya sekitar Rp 2,9 juta. 

"Hal ini menjadi dasar rekomendasi untuk mengadopsi UMP saja, mengingat UMK bisa lebih merugikan para pekerja," pungkasnya.