Buku "Gajah Palembang" Diserahkan ke Perpustakaan, Mengangkat Sejarah dan Identitas Kota

Buku "Gajah Palembang”: Sejarah, Akar Konflik dan Solusinya" yang dibuat oleh tim Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) diserahkan ke  pihak  Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palembang/Foto: Dudi Oskandar
Buku "Gajah Palembang”: Sejarah, Akar Konflik dan Solusinya" yang dibuat oleh tim Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) diserahkan ke pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palembang/Foto: Dudi Oskandar

Buku "Gajah Palembang: Sejarah, Akar Konflik, dan Solusinya" yang ditulis oleh tim Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) resmi diserahkan kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palembang untuk menjadi koleksi yang dapat diakses masyarakat. 


Penyerahan ini dilakukan dalam acara Sosialisasi Pelestarian Koleksi Nusantara dan Naskah Kuno, yang berlangsung di Grand Atyasa Palembang pada Kamis (5/9).

Penyerahan buku dilakukan oleh salah satu penulis, Kemas Ari Panji, kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palembang, Herly Kuniawan, di sela-sela acara yang dihadiri berbagai tokoh penting, termasuk Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin IV, serta sejumlah peneliti, aktivis, dan pemilik naskah kuno.

"Buku ini akan menjadi koleksi kami dan dapat dibaca oleh masyarakat Palembang," ujar Herly Kuniawan dalam sambutannya.

Buku ini merupakan hasil penelitian kolaboratif dari tim penulis Puskass, yang terdiri dari Dedi Irwanto, Vebri Al Lintani, Kemas AR Panji, Giyanto, Ali Goik, Dudi Oskandar, dan Mang Dayat. Mereka melakukan penelitian langsung mengenai kehidupan gajah di wilayah Palembang, termasuk di alam liar dan Pusat Pelatihan Gajah (PPG).

Kemas Ari Panji menjelaskan bahwa buku ini telah dicetak sebanyak 200 eksemplar, dan penempatannya di perpustakaan diharapkan dapat memperluas pengetahuan masyarakat mengenai sejarah gajah di Palembang.

"Ini adalah persembahan kami untuk kota Palembang agar generasi mendatang tahu bahwa sejak dulu Palembang sudah memiliki gajah sebagai bagian dari identitasnya," kata Kemas.

Ia juga menyinggung ikon gajah yang dahulu direncanakan menjadi bagian dari monumen di Jembatan Ampera, namun tidak terwujud. Akibatnya, gajah lebih dikenal sebagai ikon kota Lampung. Kemas berharap buku ini dapat membangkitkan kembali kesadaran akan peran gajah dalam sejarah dan budaya Palembang.

"Karena kita tidak yakin, dulu ingin dibuatkan patung gajah di Jembatan Ampera di Seberang Ilir dan Seberang Ulu tapi tidak jadi sehingga gajah menjadi ikon kota Lampung, itu kesalahan kita sendiri  sehingga gajah tidak menjadi ikon kota Palembang," pungkasnya.