Astaga, 73,97 Persen Sungai di Sumsel Masuk Kategori Tercemar Berat

Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Holda, dan Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Dr Marlistya Citraningrum. (dok/rmolsumsel.id)
Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Holda, dan Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Dr Marlistya Citraningrum. (dok/rmolsumsel.id)

Kondisi lingkungan hidup di Sumsel sedang tidak baik-baik saja. Pencemaran lingkungan yang terjadi sudah cukup parah. Seperti kondisi sungai yang ada di wilayah Sumsel. 


Berdasarkan data 2022, 73,97 persen sungai di Sumsel masuk kategori tercemar berat. Hal itu diungkapkan Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Holda saat menjadi bintang tamu podcast, Ruang Redaksi RMOL Sumsel dengan tema "Palembang Menuju Green City dengan Transisi Energi", Senin (27/5). 

"Hasil dari pantauan di 73 titik sungai, sekitar 73,97 persen masuk kategori tercemar berat. Ini data pantauan terakhir 2022 lalu," kata Holda. 

Kondisi itu, kata Holda cukup miris lantaran sungai di Sumsel menjadi bahan baku untuk air bersih yang disalurkan ke masyarakat. "Bagaimana air mau dikonsumsi, mau dimanfaatkan kalua sungainya sudah tercemar berat," ucapnya.

Pencemaran sungai tersebut, sambung Holda, disebabkan buruknya tata Kelola lingkungan yang dilakukan. Saat ini, sejumlah industri baik yang bergerak di sektor pertambangan, perkebunan maupun industri lainnya sedang tumbuh signifikan. Tetapi, pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan yang dilakukan pelaku usaha ini tidak bisa terawasi dengan baik. 

"Selain itu, limbah rumah tangga juga banyak langsung dibuang ke sungai tanpa dikelola terlebih dahulu," terangnya.

Dijelaskan Holda, selain pencemaran sungai, masalah lingkungan yang terjadi di Sumsel terkait alih fungsi lahan. Dari rawa menjadi pemukiman, dari Kawasan hutan menjadi pertambangan atau perkebunan.

"Alih fungsi lahan secara besar-besaran inilah yang menimbulkan bencana banjir beberapa Waktu belakangan ini. Seperti di OKU, Muara Enim yang notabene merupakan daerah tambang. Kemudian, wilayah Musi Rawas dan Muratara yang hutannya sudah dibabat. Inilah yang menimbulkan bencana di berbagai daerah. Alih fungsi lahan rawa dan gambut juga menjadi penyebab Karhutla," terangnya.

Saat ini, DPRD Sumsel telah mendorong perlindungan dan pelestarian lingkungan melalui regulasi yang baru saja disetujui untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Yakni Raperda tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Melalui aturan ini, kami mendorong pemerintah dan swasta untuk sama-sama memperhatikan persoalan lingkungan kedepannya," bebernya. 

Sementara itu, Dr Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, konsep Green City atau kota hijau menjadi salah satu solusi yang digunakan untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan di suatu wilayah. 

"Melalui penerapan konsep ini, masyarakat diajak untuk lebih peka terhadap pengelolaan lingkungan.Seperti pengelolaan sampah, penggunaan energi bersih dan efisiensi energi itu sendiri," ujarnya. 

Perempuan yang akrab disapa Citra ini menuturkan, pemerintah melalui Kementerian PUPR juga sudah memiliki sejumlah indikator Kota Hijau. "Sebenarnya dari sisi regulasi itu sudah ada. Tetapi, belum ada yang betul-betul serius untuk menerapkannya," tandasnya.