Analis Politik Universitas NU Pertanyakan Nomenklatur Penerapan New Normal

Presiden Joko Widodo telah memberikan restu penerapan new normal (kenormalan baru) bagi 102 daerah karena termasuk zona hijau virus corona baru (Covid-19). Sebanyak 102 daerah itu tersebar di 23 provinsi. BNPB memberikan catatan bahwa dalam pemberlakukan new normal dengan tetap menerapkan protokol Covid-19.


Saat banyak pihak menyambut positif itu, tidak demikian halnya dengan Analis hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said mengatakan bahwa penerapan new normal yang dilakukan pemerintah sangat rentan digugat.

Kata Said -sapaan akrabnya-, penerapan new normal untuk menghadapi Covid-19 tidak ada nomenklaturnya dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Apa dasar hukum penerapan new normal? Mengingat di UU Karantina tidak ada nomenklaturnya.Dalam UU Karantina, PSBB merupakan kebijakan dengan kualitas urutan paling bawah. Setelah diterapkannya PSBB dan ternyata kasus semakin meningkat, seharusnya kebijakan diperketat. Itu adalah logika sistematis dalam tata urutan kebijakan," demikian hasil analisa Muhtar Said yang disampaikan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat dini hari (5/6).

Lebih lanjut, Magister Hukum Universitas Diponegoro ini mempertanyakan, dengan penerapan new normal Covid-19, apakah Keputusan Presiden Darurat Kesehatan sudah dicabut? Dalam pengamatan Said, dasar pemberlakuan PSBB adalah Keppres Darurat Kesehatan.

"Kemudian dengan diterapkannya new normal, apakah Kepres Darurat Kesehatan berarti sudah dicabut? Karena PSBB dasarnya adalah Kepres Darurat Kesehatan," tanya Said.

Menurut Direktur Said Law ini, berbagai pertanyaan publik sangatlah wajar, apalagi ia melihat penerapan new normal yang kerap disampaikan publik justru menimbulkan kebingungan baru dalam upaya penanganan Covid-19.

"Ketika diterapkannya new normal, lantas status PSBB bagaimana. Biar nggak gaduh, Tugas Pejabat Pemerintahlah yang menjelaskan, agar tidak simpang siur di masyarakat," demikian kata Said.[ida]