Pengelolaan sampah tak bisa lagi dianggap sepele. Masalah ini telah berdampak langsung pada krisis lingkungan global, mulai dari perubahan iklim hingga polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
- Volume Sampah di Lubuklinggau Meningkat Selama Ramadan, Didominasi Kulit Kelapa Muda
- Cara Jitu Pemkot Palembang Kurangi Sampah, Tukar Enam Botol Plastik dengan Tumbler
- Deklarasi Ratu Dewa - Prima Salam Sisakan Tumpukan Sampah di Depan Rumah Dinas Wali Kota Palembang
Baca Juga
Hal itu ditegaskan dalam Seminar Nasional Belantara Learning Series (BLS) Episode 12 yang digelar Belantara Foundation bersama Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Kamis (8/5/2025).
Mengusung tema “Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Mendukung Ekonomi Sirkular, Mitigasi Perubahan Iklim, dan Kesejahteraan Masyarakat”, seminar ini diikuti lebih dari 1.100 peserta secara hybrid, luring di Bogor dan daring lewat Zoom serta YouTube.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menegaskan bahwa tanpa strategi terpadu, pengelolaan sampah tak akan menyentuh akar masalah.
“Kampanye publik, inovasi teknologi, reformasi kebijakan, dan keterlibatan masyarakat wajib dijalankan bersamaan. Sampah bukan cuma limbah, tapi juga peluang ekonomi,” ujarnya.
Peringatan keras juga datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular, Agus Rusly, menyatakan paradigma lama “kumpul-angkut-buang” sudah usang.
“Sampah harus dipandang sebagai sumber daya. UU No. 18 Tahun 2008 mewajibkan pengelolaan dari hulu ke hilir,” tegasnya.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2023 mencatat, dari 56,63 juta ton timbulan sampah nasional, 61 persen tidak terkelola.
Ironisnya, 54 persen Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) masih menggunakan metode open dumping yang merusak lingkungan.
Rektor Universitas Pakuan, Prof. Didik Notosudjono, menilai penanganan sampah memerlukan komitmen regulasi, perubahan perilaku, kolaborasi lintas sektor, serta dukungan teknologi dan model bisnis baru.
“Tanpa pendekatan holistik, Indonesia akan terus tertinggal dalam mengatasi krisis sampah,” tegasnya.
CEO Bank Sampah Digital, Desty Eka Putri Sari, menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat. “Banyak yang belum sadar bahwa sampah bisa jadi penghasilan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Bank Sampah Induk New Normal, Yasra Al-Fariza, yang aktif memberi pelatihan daur ulang dan usaha berbasis sampah.
Aktivis lingkungan sekaligus aktor, Ramon Y. Tungka, menyebut generasi muda harus menjadi garda terdepan. “Aksi sederhana seperti memilah sampah dan membawa tumbler harus jadi kebiasaan,” katanya.
- Volume Sampah di Lubuklinggau Meningkat Selama Ramadan, Didominasi Kulit Kelapa Muda
- Belantara Foundation Resmikan Menara Pantau untuk Mitigasi Konflik Manusia-Gajah di OKI
- Cara Jitu Pemkot Palembang Kurangi Sampah, Tukar Enam Botol Plastik dengan Tumbler