WALHI Sebut Tungku Asap Sumsel Berasal dari Lahan Konsesi

Media briefing mengenai penanganan kegagapan terkait kebakaran hutan dan lahan di Sekretariat WALHI Sumsel. (ist/rmolsumsel.id)
Media briefing mengenai penanganan kegagapan terkait kebakaran hutan dan lahan di Sekretariat WALHI Sumsel. (ist/rmolsumsel.id)

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel) telah mengungkapkan keprihatinannya terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Bumi Sriwijaya. Peristiwa tahunan itu seharusnya bisa diprediksi dan dihindari melalui mitigasi yang tepat oleh pemerintah pusat dan daerah, terutama oleh pemegang izin yang berbasis lahan.


Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Yuliusman mengatakan, data Walhi Sumsel, pada bulan September 2023, tercatat 29.858 titik panas, dan 55% dari titik-titik panas tersebut terjadi di lahan gambut.

Yuliusman menyatakan fakta menunjukkan bahwa pemegang izin berbasis lahan seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, dan usaha pertambangan menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Sumsel.

Berdasarkan perhitungan matematis, dari total luas 8,3 juta hektar di Sumatera Selatan, perusahaan HTI menguasai 1,4 juta hektar, perusahaan kelapa sawit menguasai 1,2 juta hektar, dan lebih dari 700 ribu hektar dimiliki oleh usaha pertambangan.

"Total luas daratan Sumsel sebanyak 3,3 juta hektar telah dikupas dan dirusak oleh korporasi. Izin-izin perusahaan tersebut terkait dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus terulang," kata Yuliusman saat menggelar briefing mengenai penanganan kegagapan terkait kebakaran hutan dan lahan pada Jumat (13/10).

Yuliusman menambahkan, hutan di Sumsel telah dibabat, lahan gambut dikeringkan dengan berbagai alasan seperti kanalisasi untuk kepentingan perusahaan HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan.

"Dampaknya, Sumsel sukses menjadi kawasan lumbung asap. Masyarakat Sumsel menderita akibat paparan asap yang menyebabkan ISPA," katanya.

Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang pada bulan Agustus hingga September 2023 mencatat 12.100 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat kondisi udara yang sangat tidak sehat.

"Kondisi ini diperkirakan akan terus meningkatkan kasus ISPA dan dampak buruk lainnya, yang mengganggu aktivitas masyarakat," ucapnya. 

Selain itu, penyebab utama karhutla yang sering dituduh adalah fenomena El Niño, yang merupakan kondisi curah hujan rendah sehingga kemarau berlangsung lebih lama.

"Namun, tuduhan ini tidak sepenuhnya benar karena El Niño sendiri dipengaruhi oleh perilaku manusia. Perubahan perilaku ini berkaitan dengan tata kelola lanskap yang mengubah lanskap basah menjadi kering dan membuat musim tidak teratur," katanya.

Yuliusman menekankan bahwa tatanan alam sebenarnya memiliki keseimbangan, tetapi perilaku manusia terhadap alam mengakibatkan ketidakseimbangan ini. Perubahan ini terutama terkait dengan bagaimana tata kelola lanskap, yang memengaruhi lanskap basah yang menjadi kering, dan menyebabkan musim menjadi tidak teratur.