Perdagangan karbon mulai dilirik oleh pemerintah untuk menambah pundi pemasukan negara maupun daerah. Di Provinsi Sumsel, aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan oleh dua perusahaan. Lokasinya di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.
- Keluarga Pastikan Ibu Bayi yang Telantarkan Anaknya di Trotoar Pernah Alami Gangguan Jiwa
- Jatuh ke Sungai, Dua Motor Pelaku Tawuran Diamankan Warga
- Waspada, Sebagian Wilayah Sumsel Diperkirakan Diguyur Hujan
Baca Juga
Dari aktivitas perdagangan karbon oleh kedua perusahaan tersebut menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp 11 miliar. "Dana itu murni dari perdagangan karbon,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Panji Tjahjanto saat dibincangi, Kamis (13/1).
Panji mengatakan, Sumsel menjadi provinsi yang paling potensial untuk mengembangkan sektor perdagangan karbon. Sebab, provinsi ini memiliki luas lahan gambut dan mangrove yang memiliki daya serap karbon paling besar ketimbang jenis hutan lainnya. Untuk lahan gambut, luasnya di Sumsel mencapai 3,4 juta hektar. Sementara hutan mangrove di Sumsel luasnya 158.900 hektar.
Aktivitas perdagangan karbon baru dilakukan oleh dua perusahaan. Yakni PT Global Alam di Musi Banyuasin dan PT Tiara Asia Permai. Kedua perusahaan fokus mengelola penyerapan karbon di dua jenis lahan tersebut. "Kalau di Muba itu mengelola pelestarian gambut sementara untuk yang di OKI mengelola mangrove,” kata Panji.
Menurut Panji, dalam setahun, satu perusahaan bisa menghasilkan pendapatan Rp83 miliar dari penjualan karbon ke negara ataupun perusahaan pembeli. Dana itu nantinya akan digunakan kembali untuk merawat lahan gambut dan mangrove. Meliputi pembuatan sekat kanal, pelestarian kawasan dan beberapa upaya perawatan lainnya.
“Termasuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Dari beberapa kali tinjauan, lahan yang dikelola perusahaan memang cukup baik kondisinya. Kalau gambut itu sudah diatur untuk selalu basah,” bebernya.
Dijelaskan Panji, dari pendapatan yang disetorkan ke negara, daerah kecipratan bagi hasil. Untuk Pemprov Sumsel mendapat bagian 16 persen, lalu kabupaten penghasil mendapat bagian 32 persen dan kabupaten non penghasil dalam provinsi sebesar 32 persen.
Hanya saja, pengembangan usaha pemanfaatan perdagangan karbon menemui sejumlah kendala. Diantaranya adanya regulasi yang melarang pemanfaatan lahan gambut dalam dan hutan alam primer. “Ada Inpres Nomor 5/2019 yang melarang aktivitas lahan gambut dalam. Gambut dalam ini kan punya kedalaman hingga 500 meter. Nah, cadangan karbonnya di tipe lahan ini sangat tinggi. Lebih tinggi dari hutan lainnya,” ucapnya.
Selain itu, pemasarannya juga cukup sulit. Perusahaan yang berkecimpung di perdagangan karbon harus mendapat penilaian dari lembaga sertifikasi internasional. Lembaga ini akan menaksir jumlah karbon yang tersimpan di dalam lahan yang dikelolanya.
“Track recordnya juga harus bersih dari upaya penebangan pohon dan kerusakan lingkungan. Ini juga masuk dalam penilaian. Makanya, kalau perusahaan-perusahaan besar di sektor kehutanan yang ada sekarang sangat sulit untuk masuk ke bisnis penjualan karbon,” tandasnya.
- Makan Ikan Tongkol dari Program MBG, 64 Siswa di PALI Alami Gejala Keracunan
- Pemprov Sumsel Siapkan BKBK, Muratara Usulkan Sejumlah Proyek Prioritas
- Teror Ular Kobra di Desa Celikah OKI, Dua Warga Tewas Dipatuk