Proyek DME Bakal Dibiayai Danantara, Pemerintah Dinilai Untungkan Oligarki

ilustrasi/ist
ilustrasi/ist

Skema pendanaan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), senilai US$11 miliar yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menuai kritik tajam dari berbagai pihak.


Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Simon F Sembiring, menilai langkah ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Menurut Simon, berdasarkan Pasal 169A ayat 4 UU No. 4/2009 juncto UU No. 3/2020, kewajiban hilirisasi seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan dibebankan kepada pemerintah.

"Seharusnya, sejak diberikan perpanjangan izin, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan nilai tambah batu bara di dalam negeri. Tapi kini justru pemerintah yang mengambil alih kewajiban tersebut, ini tidak lazim," ujar Simon dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Lebih lanjut, Simon juga menyoroti lemahnya sanksi terhadap perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban hilirisasi. "Mereka malah dibiarkan terus mengekspor batu bara dengan harga tinggi, tanpa ada konsekuensi apa pun. Ini mencerminkan kuatnya lobi perusahaan-perusahaan eks PKP2B Generasi-1 yang kini telah mendapatkan IUPK operasi produksi," tambahnya.

Semestinya, kata Simon, sejak diperpanjang harusnya kena penalti, mengingat batu bara tersebut tidak dimanfaatkan di dalam negeri, sebagai peningkatan nilai tambah. Namun malah diekspor dengan harga pasar yang cukup besar. Diduga ini ada lobby besar perusahaan-perusahaan ex PKP2B Generasi-1 yang saat ini, sudah mendapatkan IUPK operasi produksi.

"Negeri ini sudah semakin dicengkram oligarki. Satu-satunya yang bisa memberantas ini, kembalikan UU Minerba ke UU Nomor 4 Tahun 2009, sesuaikan dengan amendemen UU Otonomi Daerah," ungkap Simon.

Simon mengatakan, IUP operasi produksi perusahaan asing dalam lima tahun harus melakukan divestasi bertahap hingga 51 persen.

"Karena WP merupakan bagian dari tata ruang yang ditentukan oleh masyarakat, instansi Pemda, pusat dan DPR, maka ada kepastian berusaha bahwa wilayah tersebut tidak seenaknya dirubah menjadi kawasan hutan yang sebelumnya Departemen Kehutanan seenaknya saja merubah status suatu wilayah. Juga hak-hak rakyat sangat dihargai, karena mereka ikut berperan aktif dalam menentukan WP tersebut," urai Simon.

Simon menambahkan, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009, pejabat yang memberikan IUP dan bertentangan dengan peraturan perundangan, dikenakan sanksi administrasi dan pidana.

"Dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 pasal ini dihapus. Karena para pejabat Pemda ketakutan, dimana era otonomi daerah pertama, Pejabat Daerah memberikan IUP seenaknya sehingga banyak yang tumpang tindih, yang merugikan para pengusaha," ungkap Simon.

Senada dengan Simon, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, juga menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menyiapkan formula penalti bagi perusahaan yang lalai menjalankan kewajiban hilirisasi.

"Misalnya, Arutmin dan Kaltim Prima Coal seharusnya dikenakan denda karena tidak mengalokasikan batu bara untuk industri methanol sesuai rencana, melainkan tetap mengekspor dalam jumlah besar. Begitu juga dengan Kideco dan Adaro yang sudah mendapatkan izin perpanjangan hingga 2033," tegas Yusri.

Semestinya, kata Yusri, Kementerian ESDM segera menegur bahkan segera mempersiapkan formulasi denda keterlambatan.

"Jangan sampai teguran dilakukan mendekati berakhirnya izin IUPK, apalagi perpanjangan bisa 2x10 tahun. Jadi enak sekali dia diperpanjang dan kewajibannya malah dihilangkan. Sebaliknya mereka mendapatkan keuntungan besar mencapai triliunan rupiah, karena batu baranya diekspor. Ini jadinya kebijakan gila," pungkas Yusri.