Sungai Musi yang menjadi ikon kebanggaan Palembang, kini menghadapi ancaman serius akibat maraknya insiden yang melibatkan tongkang pengangkut batu bara.
Hal ini tak terlepas dari peningkatan produksi, seiring pengajuan yang diusulkan oleh ratusan perusahaan tambang di Sumsel. Mereka, beramai-ramai mengajukan peningkatan produksi dalam RKAB yang diajukan pada akhir 2024 lalu.
Dalam penelusuran redaksi, produksi batu bara Sumsel sendiri cenderung terus mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Dinas ESDM Sumsel, pada 2022, produksi batu bara mencapai 90.127.911,60 ton. Meningkat pada 2023 yang mencapai 105.850.190,55 ton. Lalu, pada 2024 lalu mencapai 101.116.956,71 ton.
Sementara target produksi tahun ini diproyeksi mencapai 147 juta ton, yang menjadi angkat target produksi tertinggi sepanjang masa. Angka ini diprediksi terus meningkat di tahun-tahun berikutnya, kendati daya dukung infrastruktur transportasi untuk mengangkut batu bara itu lewat jalur darat atau jalur laut disebut belum mampu.
DPRD Sumsel telah angkat bicara terkait masalah ini seperti melalui anggota Komisi IV DPRD Sumsel, MF Ridho yang diwawancarai, diamenilai bahwa frekuensi kecelakaan yang melibatkan tongkang di Sungai Musi sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
“Kami sudah berulang kali meminta agar pemerintah provinsi dan instansi terkait lebih serius dalam mengawasi aktivitas transportasi batu bara di Sungai Musi. Ini bukan sekadar masalah infrastruktur, tapi juga menyangkut keselamatan warga dan kelestarian lingkungan,” ujar Ridho.
Buktinya, dalam sepekan telah terjadi dua kali insiden yang melibatkan tongkang batu bara di perairan Sumsel. Mulai dari kejadian pada Rabu, 12 Maret 2025, saat Tongkang Kapuas Jaya 3023 yang ditarik oleh TB Johan Jaya 171 hilang kendali lalu menabrak perahu dan rumah warga di kawasan Keramasan, Kertapati.
Tongkang ini mengangkut batu bara milik PTBA yang baru saja melakukan olah gerak untuk berlayar ke luar perairan Palembang.
Belum dua hari berselang, giliran tongkang yang mengangkut batu bara milik PT Tempirai Musi Banyuasin (Muba) terjebak di badan jembatan Bentayan, Banyuasin sejak Kamis (13/3/2025) malam dan hingga Jumat (14/3/2025) belum berhasil dievakuasi. Namun kali ini, tongkang tersebut diketahui tidak mendapatkan izin olah gerak dari KSOP kelas I Palembang.
“KSOP Kelas 1 Palembang tidak mengeluarkan surat persetujuan olah gerak kapal yang melintas di perairan Bentayan. Pengawasan bongkar muatnya juga bukan wewenang kami,” ujar Kasi Keselamatan Berlayar Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas 1 Palembang, Capt. Bintarto M. Mar, yang dikonfirmasi terkait hal ini.
Kedua insiden ini, nyatanya menjadi perhatian publik setelah video dan foto kejadian menyebar luas di media sosial. Banyak warga yang mengkhawatirkan kondisi jembatan yang semakin terancam, terutama jika arus sungai semakin deras dan air terus pasang.
Aktivis Lingkungan Soroti Dampak Ekologis dan Keselamatan Warga
Selain membahayakan warga, aktivitas tongkang batu bara juga mengancam keseimbangan ekologis Sungai Musi. Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman, mengungkapkan bahwa keberadaan tongkang batu bara tidak hanya menyebabkan kecelakaan, tetapi juga merusak ekosistem sungai.
"Sungai Musi semakin tercemar akibat tumpahan batu bara dan limbah dari tongkang. Ini mengancam habitat ikan dan sumber air bagi warga,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa penggunaan Sungai Musi untuk transportasi batu bara bertentangan dengan kepentingan publik. “Sungai Musi bukan jalur angkutan bisnis batu bara. Ini semata-mata demi kepentingan korporasi, sementara masyarakat justru menanggung dampaknya,” tambahnya.
Sebelum ini, terkait peningkatan produksi batu bara di Sumsel, Koordinator Perkumpulan Rawang Sumsel, Hairul Sobri mengatakan, perusahaan seharusnya wajib mengajukan perbaharuan izin AMDAL yang baru. Sebab, hal itu berkaitan dengan kemampuan pengendalian dampak lingkungan dari peningkatan produksi yang terjadi.
"Kalau untuk pertambangan itu, tentu bagaimana kapasitas jalan dapat memenuhi pengangkutan batu bara. Apakah harus menggunakan jalan khusus atau tidak dan sebagainya. Hal itu harus dipertimbangkan untuk dicarikan solusinya," kata Hairul.
Mantan Direktur Eksekutif WALHI Sumsel ini menuturkan, peran pengendalian lingkungan tersebut ada pada Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Sumsel yang mengeluarkan izin AMDAL. Mereka bisa menurunkan pengawas atau PPNS untuk mengukur kelayakan perizinan AMDAL yang dimiliki perusahaan.
"Mereka bisa melakukan penegakkan hukum kalau perizinan yang dimiliki itu melebihi dari kapasitas produksinya. Karena jelas, ketika terjadi peningkatan produksi, izin AMDAL juga harus dilakukan penyesuaian," ucapnya.
Faktanya yang terjadi saat ini, terkadang antar instansi saling lempar tanggung jawab. "Apalagi yang berkaitan dengan pertambangan. Karena banyak urusannya ke pusat, yang di daerah kadang lepas tangan. Inilah yang sering terjadi," terangnya.
Selain itu, pembahasan izin AMDAL cenderung administratif. Tidak dilakukan penyelidikan lebih mendalam. "Asal syaratnya sudah dipenuhi, izin bisa keluar. Ketika permasalahan terjadi, misal ada aduan pencemaran, insiden, baru petugas turun lagi. Jadi proses pencegahannya tidak berjalan," tuturnya.