Menakar Harga Demokrasi Elektoral

Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi. (ist/rmolsumsel.id)
Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi. (ist/rmolsumsel.id)

Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR sudah seharusnya memberikan perhatian terhadap ketersediaan anggaran pemilu dalam APBN sebagai belanja prioritas. Sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa belanja pemilu berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan demokrasi secara lebih luas.

Sejak Reformasi 1998, tercatat tahun-tahun sebelum dan sesudah pemilu adalah tahun-tahun pertumbuhan ekonomi positif. Kecuali Pemilu 2019 karena beriringan dengan Pandemi Covid-19.

Pada Pemilu 1999, pertumbuhan ekonomi naik dari minus 13 persen (1998) merangkak ke 0,8 persen (1999) lau naik tajam 4,9 persen (2000). Pemilu 2004 mendorong pertumbuhan ekonomi nasional naik perlahan dari 4,8 persen (2003) menjadi 5 persen (2004) dan naik signifikan di angka 5,7 persen (2005). Di tengah resesi ekonomi global 2008, Pemilu 2009 berkontribusi menaikkan pertumbuhan dari 4,6 persen (2009) menaik signifikan di angka 6,2 persen (2010). Sementara itu, Pemilu 2014 berhasil menstabilkan pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,6 persen (2013) 5 persen (2014) dan 4,9 persen (2015) (World Bank: 2022).

Dalam konteks krisis paskapandemi Covid-19, Filipina memiliki pengalaman yang menarik. Pada kuartal I 2022, dimana bulan-bulan pemilu diselenggarakan, ekonomi Filipina bertumbuh hingga 8,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Para ekonom memperkirakan pertumbuhan yang lebih optimis antara 7 s/d 9 persen bagi ekonomi Filipina (Nikkei Asia: 2022).

Merujuk pada sejarah pemilu di Indonesia dan pengalaman negara tetangga, dapat diambil hipotesis bahwa dari sudut pandang ekonomi pemilu adalah investasi ekonomi. Pemilu yang demokratis dan adil menunjukkan bahwa satu negara telah melaksanakan demokrasinya. Pemilu sekaligus menjadi wadah untuk menjaga integrasi bangsa, dimana berbagai kelompok dan ideologi dalam masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya melalui partai-partai politik dalam lembaga perwakilan maupun pasangan calon presiden-wakil presiden. Keadaan ini menandakan stabilitas negara dan memberikan citra positif bagi para investor.

Komisi II DPR dan Pemerintah menyepakati anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp. 76,6 Triliun yang bersumber dari APBN, tidak termasuk anggaran pengamanan pemilu dan kegiatan pendukung lainnya. Anggaran ini tidak bisa dianggap terlalu besar jika dibandingkan dengan biaya rata-rata per pemilih dan trickle down effect yang ditimbulkan realisasi anggaran pemilu.

Merujuk pada Pemilu 2014, dengan jumlah pemilih sebanyak 192,83 juta maka sepanjang 2022 hingga 2025 setiap pemilih akan terlayani oleh penyelenggara Pemilu dengan nilai Rp. 39,7 juta atau Rp. 9,9 juta per tahun per kepala. Pelayanan itu meliputi pelayanan informasi, pendidikan pemilih, pemungutan suara, dan pelayanan komplain. Dengan cara ini, biaya pemilu tampak lebih masuk akal mengingat besarnya jumlah pemilih yang harus dilayani.

Sementara itu, lebih dari 50 persen dari Rp 76,6 T itu, dialokasikan untuk honor/gaji untuk lebih dari 7 juta penyelenggara pemilu mulai dari tingkat pusat, kabupaten, hingga kecamatan dan TPS. Ini artinya, anggaran pemilu berkontribusi terhadap peningkatan daya beli masyarakat. Secara keseluruhan, belanja pemilu rata-rata berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5-1 persen per tahunnya.

Perhelatan pemilu pada kenyataanya menstimulasi industri nasional seperti industri survei, industri pengiklanan, pengelolaan media sosial, percetakan, konveksi, orkes lokal, makanan dan minuman serta industri lain yang mendukung pelaksanaan Pemilu.

Terdapat puluhan partai politik dan ratusan ribu calon yang berkepentingan untuk mempromosikan dirinya agar terpilih dalam pemilu. Kebutuhan untuk menggunakan produk dan jasa dari berbagai industri itu sangatlah tinggi. Ditambah dengan kegiatan pemantauan masyarakat, semakin luas pengaruh pemilu terhadap ekonomi.

Dalam konteks yang lebih strategis, perhelatan pemilu setiap lima tahun berkontribusi meningkatkan sejumlah aspek strategis dalam demokrasi kita, yaitu pendidikan pemilih dan pemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) demokrasi dan kepemiluan.

Pendidikan pemilih yang dahulu terbatas pada bagaimana cara mencoblos di TPS, perlahan tapi pasti, saat ini telah bertransformasi menjadi pendidikan politik. Sebagian besar pemilih memandang bahwa politik adalah perkara keseharian yang pertanggungjawabannya ada di pundak para pemimpin yang terpilih dalam pemilu. Maka tak heran, ketika ada penyelewengan atau korupsi pejabat publik, ramai-ramai warga negara menyuarakannya.

Demokrasi yang adaptif terhadap TIK, salah satunya diujicobakan dalam perhelatan pemilu. Sebagai sarana pelayanan informasi dan partisipasi, penggunaan TIK selalu dipenuhi dengan keraguan dan kecurigaan manipulasi data.

Pada kenyataannya, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 cukup sukses menggunakan TIK untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu itu sendiri. Dalam skala yang lebih sektoral, pengalaman ini memberikan pelajaran penting yang dapat diterapkan oleh pemerintah dalam konteks proses pembuatan kebijakan.

Harga pemilu memang mahal, tapi dampak yang ditimbulkan terhadap ekonomi dan demokrasi sangatlah nyata. Hal inilah yang perlu dilihat oleh Komisi II DPR dan Kementerian Keuangan untuk tetap memprioritaskan pemilu dan mempermudah realisasinya, bahkan dengan melihat dampak yang ditimbulkan seharusnya pemilu setara dengan proyek strategis nasional.

Cara pandang pemilu sebagai investasi demokrasi dan ekonomi sekaligus perlu disuarakan oleh Komisi II DPR RI dalam rapat-rapat pengawasan Pemilu. Negara tidak boleh mempertaruhkan masa depan demokrasi dengan alasan anggaran. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu merupakan kaca benggala kesuksesan menjaga demokrasi paska Pemilu.

*Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center