Kisah Benteng Tameng Ratu di Pulau Kemaro [1]

Peta Belanda yang menggambarkan Pulau Kemaro. (Ist/rmolsumsel.id)
Peta Belanda yang menggambarkan Pulau Kemaro. (Ist/rmolsumsel.id)

Berbicara perang Palembang yang terjadi pada tahun 1819 dan 1821 tidak dapat dipisahkan dari peran benteng-benteng pertahanan. Keberadaan benteng-benteng di Kesultanan Palembang, terkait dengan adanya ancaman dari kolonial Belanda ke Palembang. 

Disebutkan bahwa kembalinya Belanda ke Nusantara, setelah pendudukan Inggris selama sekitar lima tahun (1811-1816), sebagai bagian dari kawasan yang diserahkan kepada Belanda. Tibanya Belanda ini membuat situasi di Palembang menjadi tidak terkendali. Banyak terjadi kekacauan khususnya di daerah  perbatasan (Lampung dan Bengkulu), dan di daerah uluan, serta perairan Palembang-Bangka.

Tiga residen Belanda juga tidak berhasil mengamankan Palembang. Akhirnya, pihak Belanda di Batavia mengirimkan orang kuat untuk mengatasinya yaitu Komisaris Muntinghe. Kebijakan Muntinghe membagi wilayah Kesultanan Palembang (Juni 1818) dengan dalih memulihkan keamanan, disambut baik oleh Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Sedangkan Sultan Najamuddin II menolak, dan meminta bantuan kepada Inggris (Raffles) di Bengkulu.

Pengiriman ekspedisi Inggris dari Bengkulu, menyebabkan terjadi krisis antara Belanda dan Inggris, juga Sultan Najamuddin II. Krisis itu berakhir dengan dikembalikannya pasukan Inggris ke Bengkulu. Efek dari peristiwa tersebut, Sultan Najamuddin II dibuang ke Jawa Barat.

Dengan demikian, seluruh kekuasaan dan wilayah Najamuddin II menjadi milik SMB  II. Meskipun kekuasaan SMB II  menjadi lebih besar dengan wilayah yang lebih luas, namun kekuasaannya tetap terbatas karena Muntinghe mengendalikan kekuasaan dengan wilayah yang lebih luas. Kepergian Muntinghe ke uluan dalam rangka mengusir pasukan Inggris yang ditinggalkan di sana, memberi peluang kepada Sultan untuk mempersiapkan diri dalam rangka melepaskan diri dari pengaruh Belanda. Usaha itu diwujudkan pada Juni 1818.

Dalam peperangan pertama dan kedua antara laskar Palembang dan Belanda, berhasil dimenangkan oleh Palembang. Akibatnya, pasukan Belanda mundur ke Bangka dan menutup muara Sungai Musi (Sungsang).

Pasca kemenangan tersebut, Kesultanan Palembang dihadapkan pada kemungkinan datangnya balasan dari pihak Belanda. Untuk itu, maka Sultan harus mempersiapkan diri. Untuk menghadapi serangan musuh, Sultan bersama-sama rakyatnya melakukan berbagai persiapan. Walaupun akhirnya di Perang Palembang ketiga ini Palembang akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 1821 dan SMB II diasingkan ke Ternate.

Sebelumnya, atau sekitar tiga bulan sebelum perang Palembang, hal penting yang disiapkan oleh Sultan adalah mendirikan benteng-benteng dalam rangka pertahanan. Dimana pertahanan daerah Plaju yang berseberangan dengan Pulau Kemaro diperkuat sesuai keadaan.

Di sini, SMB II memerintahkan untuk memasang pagar lapis tiga sepanjang sisi Sungai Musi dan mendirikan benteng-benteng kecil untuk memantau pergerakan kapal yang berlayar di Sungai Musi.

Selain itu, SMB II juga meminta pasukannya untuk menyiapkan meriam-meriam di balik hutan sepanjang Sungai Musi. Konsentrasi kekuatan di daerah Plaju dan Pulau Kemaro memberikan kesempatan sultan untuk mengawasi secara langsung dengan koordinasi dan komunikasi.

SMB II menunjuk Pangeran Ratu (Putra Mahkota) sebagai panglima perangnya. Beliau juga memerintahkan putra-putranya yang lain untuk menjaga benteng-benteng besar di sekitar Sungai Musi. Benteng Tambak Baya ditempatkan Pangeran Kramajaya (menantu SMB II)  yang berkekuatan 91 meriam.

Lalu, Benteng Martapura yang bersebelahan dengan Benteng Tambak Taya ditempati oleh Pangeran Ratu. Sedangkan Benteng Pulau Kemaro ditempati oleh Pangeran Suradilaga dan Benteng Manguntama dipimpin oleh Pangeran Wirasentika.

Sementara, benteng-benteng yang berada di sepanjang Sungai Musi menuju Sungai Tengkuruk dilengkapi dengan meriam-meriam kecil. Sedangkan Benteng Kurungan Nyawa di hulu Sungai Komering dibuat untuk menjaga serangan serdadu Belanda dari Lampung, dan SMB II sendiri berada di Benteng Kuto Besak yang diperkuat dengan 110 meriam.

“Pangeran Ratu itu  adalah anak SMB II,” kata sejarawan Palembang Kemas Ari Panji, Jumat (2/7).

Menurutnya benteng pertahanan Kesultanan Palembang menurutnya berlapis tiga yaitu Benteng Tameng Ratu, Benteng Tambak Baya dan Benteng Martapura ditambah cerucup kayu di tengah Sungai Musi.