Jokowi Dinilai Seperti “Bebek Lumpuh”, Tidak Ada yang Mau Dengar Perkataannya

Menko Luhut B Panjaitan dan Presiden RI, Joko Widodo. (Istimewa/rmolsumsel.id)
Menko Luhut B Panjaitan dan Presiden RI, Joko Widodo. (Istimewa/rmolsumsel.id)

Presiden Joko Widodo dinilai sudah seperti seekor 'bebek lumpuh', yang berarti tidak ada lagi yang mau mendengarkan perkataannya.


Hal ini diungkapkan oleh Ketua Majelis Jaringan Aktivitas Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule saat berbincang mengenai aksi mahasiswa menolak perpanjangan masa jabatan presiden. 

Menurutnya, kepercayaan merupakan hal yang paling utama harus dimiliki seseorang dalam filosofi Jawa. Untuk itu, setiap mereka yang menjadi pemimpin, wajib hukumnya untuk mendapat kepercayaan penuh dari rakyat. Namun, sayangnya Presiden Joko Widodo saat ini sudah seperti seekor “bebek lumpuh”. Artinya, sudah tidak ada lagi yang mau mendengarkan perkataannya.

Hal itu dibuktikan dengan pernyataan Jokowi pada Desember 2019 lalu yang tidak diikuti oleh lingkaran terdekatnya. Kala itu, urai Iwan Sumule, Jokowi tegas mengatakan bahwa pengusul presiden 3 periode adalah pihak yang ingin menampar mukanya.

Tapi kemudian, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia justru mewacanakan penundaan pemilu, yang artinya masa jabatan presiden harus bertambah.

Jokowi pun harus kembali membuat teguran kepada para menterinya itu untuk menyudahi wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, yang meresahkan masyarakat.

“Jokowi pernah marah ketika ada yang bicara 3 periode. Eh, sekarang malah kalangan menterinya sendiri yang bicara perpanjangan masa jabatan,” ujar Iwan Sumule kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Senin (4/11).

“Ini tanda Presiden Jokowi sudah seperti "Bebek Lumpuh". Tak ada lagi yang mau ikut dan dengar omongannya, baik yang di sekelilingnya,” sambungnya.

Sebagai orang Jawa, Jokowi harus belajar banyak pada peristiwa lengsernya Soeharto. Presiden kedua RI itu mundur karena telah kehilangan kepercayaan rakyat. Padahal, saat itu Soeharto masih didukung TNI dan Polri dan sebagian besar elit politik.

Pemahaman yang mendalam atas filosofis Jawa yang membuat Soeharto ketika itu memilih mundur. Alasannya, karena merasa telah kehilangan kepercayaan rakyat.

“Sedang Jokowi malah sebaliknya, sudah tidak dipercaya malah diminta tambah masa jabatan yang tak hanya tak sesuai filosofis Jawa, juga melanggar konstitusi negara,” tegasnya.

“Kalau memang sudah tidak dipercaya lagi, mundur!” lanjut Iwan Sumule.