Di balik tingginya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumatera Selatan dari industri batu bara, tersimpan ancaman serius bagi masyarakat dan lingkungan. Masalah angkutan batu bara terus meningkat, mulai dari kemacetan, polusi debu, hingga kecelakaan fatal di jalur darat maupun perairan.
- Dipecat dari Kader, Mantan Ketua DPC Gerindra Gugat Prabowo Rp501 miliar
- Penerapan Dominus Litis Rawan Disalahgunakan Jaksa Nakal
- Soroti Harta Rafael Alun, KASN: Jangan-jangan Ini Hanya di Permukaan
Baca Juga
Sepanjang Maret 2025 saja, tiga insiden besar terjadi, menambah panjang daftar bencana akibat angkutan batu bara. Pada 12 Maret, tongkang milik PT Bukit Prima Bahari, anak usaha PT Bukit Asam (PTBA) yang juga operator kapal, menabrak rumah warga di Keramasan, Palembang, menyebabkan kerugian besar.
Sehari kemudian, tongkang milik PT Tempirai menabrak Jembatan PTPN IV Kebun Bentayan di Banyuasin, menghambat akses transportasi vital. Insiden serupa terjadi pada 12 Agustus 2024, saat Jembatan Lalan di Musi Banyuasin ambruk akibat dihantam tongkang PT Santana Jaya.
Terbaru, kecelakaan kembali terjadi di Sungai Musi, tepatnya di kawasan Gandus Palembang. Tongkang Leo Marine 3007 yang ditarik tugboat Leo Power 2207 bertabrakan dengan tongkang PSB 3019 yang ditarik tugboat Noah IX dalam kondisi sarat muatan.
Lonjakan insiden ini diduga kuat sebagai dampak dari eksploitasi besar-besaran batu bara di Sumsel, terutama oleh PTBA, yang menargetkan produksi 50 juta ton batu bara tahun ini. Sayangnya, peningkatan produksi ini tidak diimbangi dengan infrastruktur dan pengawasan yang memadai, sehingga berdampak buruk bagi masyarakat.
Evaluasi Menyeluruh Regulasi Angkutan Batu Bara
Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI), Feri Kurniawan, menegaskan perlunya evaluasi total terhadap Dinas Perhubungan Sumsel sebagai regulator angkutan batu bara. Menurutnya, regulasi sebenarnya sudah jelas dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur No. 23 Tahun 2012. Namun, lemahnya pengawasan dan tidak tegasnya penegakan hukum membuat aturan tersebut seakan tak berarti.
"Jelas harus ada evaluasi menyeluruh, baik untuk jalur darat maupun sungai. Peran Pemda, Dishub, dan dinas terkait seolah mati rasa terhadap kesemrawutan angkutan batu bara akibat eksploitasi besar-besaran," ujar Feri saat dihubungi, Rabu (26/3).
Lebih jauh, Feri menduga adanya praktik pungli yang melibatkan oknum aparat berwenang. Ia menyoroti ketidaktegasan pemerintah dalam menangani pelanggaran yang terjadi berulang kali.
"Dari sederet insiden, kita tidak melihat ada sanksi tegas atau kebijakan konkret. Angkutan tetap berjalan seperti biasa seolah tidak ada masalah. Ini yang membuat kami curiga ada permainan di dalamnya," tambahnya.
Feri juga mendesak PTBA dan perusahaan batu bara lainnya bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan. Menurutnya, keselamatan masyarakat sekitar jalur angkutan batu bara sering diabaikan.
"Kalau tidak ada tindakan tegas, insiden seperti ini akan terus berulang. Masyarakat yang paling dirugikan akibat eksploitasi besar-besaran batu bara di Sumsel," tegasnya.
Proper Emas PTBA Layak Dicabut?
Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, Bonie, menilai Pemerintah Provinsi Sumsel serta kabupaten/kota yang dilalui jalur angkutan batu bara harus segera melakukan evaluasi total. Tanpa kebijakan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang jelas, ancaman terhadap masyarakat dan lingkungan akan terus meningkat.
"Evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan untuk merumuskan aturan yang benar-benar melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak angkutan batu bara," katanya.
Bonie juga menekankan perlunya sanksi tegas bagi perusahaan angkutan tongkang batu bara yang sering melanggar aturan, seperti kelebihan muatan dan beroperasi di luar jam operasional yang ditetapkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi, mendesak Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencabut penghargaan PROPER Emas dan Hijau yang baru-baru ini diberikan kepada PTBA. Menurutnya, penghargaan tersebut tidak mencerminkan kondisi lapangan yang justru menunjukkan dampak lingkungan yang semakin parah.
"PTBA jelas mendapat keuntungan besar dari eksploitasi batu bara. Tapi, apakah masyarakat merasakan manfaatnya? Insiden terus berulang, sementara penghargaan Proper tetap diberikan. Ini tidak masuk akal," kritiknya.
Rahmat menduga pemberian Proper hanya sebagai pencitraan, bukan refleksi kondisi lingkungan yang sebenarnya.
"Kita lihat sendiri, apakah perusahaan benar-benar menerapkan kebijakan lingkungan yang ketat? Kalau masih ada pencemaran dan kecelakaan berulang, berarti penghargaan itu tidak pantas. Penilaian Proper ini harus dipertanyakan," pungkasnya.
- Mobil Pintar Bukit Asam, Sahabat Anak Sekolah yang Membawa Dunia dalam Buku
- Demi Warisan untuk Anak Cucu, PTBA Tanam Pohon Bersama Masyarakat
- Konflik Lahan Robert Aritonang vs PTBA-BSP: Penggugat Serahkan Bukti Aktivitas Penambangan Terbaru