Dianggap Gagal dalam Program Reklamasi Paska Tambang, K-MAKI Desak Perombakan Struktur Dinas Lingkungan Hidup Sumsel

Lokasi tambang Batubara di Sumatera Selatan/Foto:Dokumen RMOL
Lokasi tambang Batubara di Sumatera Selatan/Foto:Dokumen RMOL

Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI) menilai Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumatera Selatan telah gagal melaksanakan tupoksinya. Hal itu menyusul mandeknya program reklamasi pasca tambang di Sumatera Selatan.


Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 3/ 2020 dengan jelas mengatur pengelolaan sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba), salah satunya pengusaha wajib melakukan reklamasi pasca tambang. 

Aturan saat ini menaikkan angka dana jaminan reklamasi (jamrek) menjadi Rp110 juta perhektar lahan tambang dari yang sebelumnya hanya Rp15 juta per hektare. 

Namun DLH Sumsel dinilai K-Maki belum mampu membuat program reklamasi pasca tambang sehingga dana jaminan reklamasi di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tak kunjung cair.

"Trilyunan rupiah dana Jamrek di Kementerian LHK belum dapat di cairkan yang mungkin karena  DLH Sumsel belum mampu membuat program reklamasi pasca tambang khususnya di wilayah Sumsel bagian barat," ujar Koordinator K MAKI Bony Balitong.

Lebih lanjut dia mengatakan, buruknya kinerja DLH Sumsel ini dibuktikan dengan raport merah pertambangan Sumsel terkait pengelolaan lingkungan saat eksploitasi pertambangan. 

"Kami mendorong perombakan total di DLH Sumsel, karena reklamasi pasca tambang sangat di perlukan untuk mencegah banjir akibat rusaknya ekosistem hutan hujan tropis pasca tambang di wilayah Sumsel bagian barat," jelaslnya.

Menurut Bony sedikitnya ada empat Dirjen di Kementrian LHK dan satu Dirjen di Kementrian ESDM yang berkaitan dengan dana jaminan reklamasi pasca tambang. Sudah seharusnya DLH Sumsel berkoordinasi dengan Dirjen tersebut dalam upayah mencairkan dana jaminan reklamasi.

"Pertanyaanya apa yang dikerjakan DLH Sumsel sehingga tidak bisa mengupayahkan Jamrek tersebut. Karena kita tahu lahan-lahan eks tambang tersebut  menjadi potensi bencana alam karena perubahan ekologi dan ekosistem hutan resapan air. Jika terus seperti ini bencana alam yang kita alami akan terjadi lagi dan lebih besar lagi," tegasnya.