Begini Saran Agroekolog Antisipasi Keterbatasan Pupuk Subsidi

Ilustrasi pupuk subsidi/ist
Ilustrasi pupuk subsidi/ist

Kalangan petani di Indonesia masih mengelukan mahalnya harga pupuk non subsidi, sementara untuk pupuk subsidi alokasi dari pemerintah terbatas untuk penuhi kebutuhan petani.


Menanggapi hal itu, Syamsul Asinar Radjam, Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) mengatakan, seluruh stakeholder harus bekerja sungguh-sungguh dan ikhlas untuk membuat petani menjadi mampu agar dapat memutus ketergantungan terhadap pupuk kimia. 

Menurutnya, sudah sejak lama pemerintah mencanangkan program seperti Go Organik 2010. Namun, program tersebut kurang berlangsung dengan baik, karena orientasinya tidak seperti yang diharapkan, yakni memutus ketergantungan petani terhadap asupan pupuk kimia tersebut.

"Gantinya, pemerintah membangun infrastruktur dan segala macamnya untuk mendorong pabrik pupuk nasional, memproduksi pupuk organik selain pupuk kimiawi yang jadi produksi unggulan mereka," ungkapnya kepada media, Rabu (23/3).

Lebih lanjut untuk memberikan alternatif bagi ketergantungan pupuk kimia, Syamsul mengatakan, perlu kesungguhan para pihak yang menemani petani. 

"Penyuluh sungguh-sungguh menyuluh, pendamping sungguh-sungguh mendampingi, kesungguh-sungguhan dalam menyusun program pertanian bukan sekedar penyerapan anggaran, dan perlu memberikan garansi serta insentif bagi petani yang berikhtiar memutus ketergantungan pada pupuk kimia," jelasnya.

Soal alternatif untuk menggunakan pupuk organik, terang Syamsul, menurutnya, pupuk alami atau pupuk organik bukan alternatif. Namun, menjadi sebuah keharusan. Sebab, sebagian besar tanah pertanian hari ini sudah kehilangan kesuburan alaminya akibat penggunaan pupuk kimia terus menerus dalam jangka waktu lama.

"Solusinya adalah kembali mengembalikan sebanyak mungkin bahan organik ke tanah-tanah pertanian, baik dalam bentuk kompos, pupuk hijau, bahan pembenah tanah, mulsa alami dan lain sebagainya," kata Agroekolog Sumatera Selatan tersebut.