Usai membuat pengakuan dan permohonan maaf atas pelanggaran HAM berat masa lalu, Presiden Joko Widodo ditantang untuk memberhentikan tokoh-tokoh yang diduga kuat sebagai pelanggar HAM berat yang ada di lingkaran Istana saat ini.
- Dirjen HAM: Perusahaan Pers yang Tolak Serikat Pekerja Melanggar Hukum
- Pemkab Muba Terapkan Pelayanan Publik Berbasis HAM untuk Masyarakat
- Bertahap, Kantor Disdukcapil Lubuklinggau Pindah ke Gedung Eks DPRD Musi Rawas
Baca Juga
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, secara psikologi politik dan sosial, pernyataan Gatot Nurmantyo soal kekhawatiran akan terjadi banjir darah usai Jokowi meminta maaf dapat dipahami. Karena Gatot merupakan mantan Panglima TNI yang paham sejarah dinamika ABRI dalam hal ini TNI-Polri. Pun soal dinamika sosial masyarakat saat dan sesudah peristiwa 1965.
"Meskipun menurut saya, pelanggaran HAM-nya ada yang diabaikan Jokowi yaitu kasus Munir dan kasus-kasus pelanggaran HAM selama Jokowi menjadi Presiden. Kekhawatiran Gatot Nurmantyo itu saya kira cukup punya alasan, karena itu peristiwa traumatik yang menyimpan luka," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (23/1).
Ubedilah sependapat, jika luka dibuka secara sepihak, akan memunculkan kembali rasa sakit. Mengingat, apa yang dilakukan Jokowi adalah cara sepihak, sekadar menghibur korban di satu pihak.
Sebab, ada korban jiwa atau pihak lainnya yang bisa jadi tidak diperhitungkan Jokowi. Misalnya, keluarga besar Tentara yang menjadi korban, atau keluarga besar NU, Gereja, dan pihak lain yang ikut menjadi korban.
Sehingga, menurut Ubedilah, solusi yang tepat adalah mengikuti UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Secara substansi, UU itu sudah sangat bagus dan jelas bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya melalui jalur yudisial melalui Pengadilan HAM. Dari pengadilan itu, akan diputuskan soal kompensasi, restitusi, rehabilitasi (Pasal 35) dan rekonsiliasi dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Pasal 47).
Jadi, lanjut Ubedilah, dengan cara ini pihak-pihak yang berkonflik akan merasakan keadilan. Dirinya juga mencermati tindakan Jokowi sampai saat ini yang masih terkesan melindungi tokoh-tokoh yang diduga kuat menjadi aktor pelanggaran HAM berat. Bahkan ada yang menjadi Dewan Pertimbangan Presiden hingga Menteri.
"Oleh karena setelah membuat pengakuan pelanggatan HAM berat dan sebelum sampai pada proses pengadilan HAM, tindakan nyata Jokowi untuk memberhentikan tokoh-tokoh yang diduga kuat pelanggar HAM berat yang ada di lingkaran istana saat ini. Itu saja dulu, bisa enggak?" pungkas Ubedilah.
- Dirjen HAM: Perusahaan Pers yang Tolak Serikat Pekerja Melanggar Hukum
- Kebijakan Ekspor Pasir Laut Bukti Kuatnya Pengaruh Oligarki
- Terbitkan Perpres HGU IKN hingga 190 Tahun, DPR Diminta Harus Tegur Presiden Joko Widodo