Temuan Benda Bersejarah Minim Respons Pemerintah, Sejarawan: Perlu Ada Regulasi

Narasumber dan peserta Kajian Sejarah Lokal berfoto bersama usai kegiatan. (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)
Narasumber dan peserta Kajian Sejarah Lokal berfoto bersama usai kegiatan. (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)

Penemuan nisan kuno beberapa waktu lalu di kawasan Pasar 16 Ilir Palembang harusnya menjadi momen kebijakan pelestarian benda-benda bersejarah.


Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah, Kemas Abdurrahman Panji menilai perlu adanya kepedulian Pemerintah dalam penyelamatan penemuan benda bersejarah seperti enam nisan kuno ini.

“Ketika kemarin Pemerintah sudah peduli dengan membuat tim, kita sudah apresiasi baik kepada Pemerintah Kota Palembang dan Pemerintah Provinsi Sumsel yang cepat tanggap. Tapi harus ada kelanjutan, harus ada regulasi ke depan,” katanya dalam Kajian Sejarah Lokal Series #1 “Temuan Nisan 16 Ilir dan Materi Perkuliahan Sejarah Islam” yang diselenggarakan oleh Laboratorium  Program Studi Pendidikan Sejarah Unsri di Laboratorium Program Studi Pendidikan Sejarah Unsri di Jalan Ogan, Bukit Besar, Palembang, Sabtu (12/2).

Panji meyakini setiap penggalian yang dilakukan  perusahaan di Palembang tidak berkoordinasi dengan Kantor Arkeologi Sumsel.

“Tidak pernah dilaporkan temuan-temuan itu. Dulu ketika bangun fly over, saya yakin itu di beberapa titik banyak temuan, lalu pembangunan tidak memperhatikan Amdal. Nah kelemahan-kelemahan kebijakan inilah yang harus diperbaiki. Ini harus ada regulasi Pemerintah. Artinya ada pembangunan di Palembang harus ada komitmen untuk dilaporkan (bila ada temuan),” ucapnya.

Panji sepakat nama-nama yang ada di nisan kuno adalah jejak tinggalan masa lalu yang disarankan untuk diabadikan sebagai nama daerah atau jalan baru agar jangan dihilangkan nama-nama ini agar identitasnya tidak hilang.

“Banyak nama-nama toponimi di Palembang yang berganti dan tidak berdasarkan sejarah,” tuturnya.

Kepala Laboratorium Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, Dedi Irwanto menyayangkan sikap Pemerintah yang acuh tak acuh atas temuan nisan kuno tersebut. Menurutnya, banyak kota di dunia mencoba menggali situs yang ada untuk mengetahui kehidupan di masa lalu dan menjadikan lokasi itu sebagai tempat kajian dan peluang pengembangan pariwisata lebih lanjut. Namun temuan lokasi enam nisan kuno justru tidak mendapatkan tanggapan yang berarti oleh pembuat kebijakan.

“Ini sangat disayangkan,” ucapnya.

Apalagi, lanjut Dedi, temuan benda bersejarah ini bisa menjadi awal penelitian apakah benar bagian dari sebuah kebudayaan besar tentang keraton di Kota Palembang atau lainnya. Bahkan situs ini memiliki relevansi ketika dijadikan salah satu bahan ajar di perguruan tinggi.

Sementara itu, Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unsri, Hudaidah menjelaskan, penemuan enam nisan kuno berdasarkan identifikasi adalah nama satu keluarga yaitu ada kakek, ibu bapak, dan anak.

“Kemungkinan ini kumpulan satu keluarga, ini asumsi saya. Saya menganalisis nama-nama pada nisan di mana nama-nama pada nisan jelas nama satu keluarga,” terangnya.

Hudaidah menyatakan tidak setuju dengan pendapat mengenai lokasi temuan adalah tempat menjual nisan. Menurutnya, hal itu tidak mungkin mengingat yang ditemukan nisan satu keluarga di lokasi yang berdekatan.

“Temuan nisan Pasar 16 Ilir merupakan makam ulama bebas yang hidup di abad ke-19 masehi. Ulama ini hidup setelah Kesultanan Palembang Darussalam diambil alih Kolonial Belanda. Asumsinya saat itu tidak ada lagi ulama keraton. Ulama yang ada hanya ulama bikrokrat dan ulama bebas,” katanya.