Sang Maestro Tari dan Penari Pertama Gending Sriwijaya Itu Berpulang

Jenazah R.A Tutty Zahra disemayamkan di rumah duka/Foto: Dudi Oskandar
Jenazah R.A Tutty Zahra disemayamkan di rumah duka/Foto: Dudi Oskandar

Kabar duka datang dari dunia seni di Palembang, seorang maestro tari R.A Hj Tutty Zahra binti Raden Haji Muhammad Akib (RHM) Akib dikabarkan meninggal dunia, Minggu (31/12).


Penari pertama Tari Gending Sriwijaya itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit RK Charitas Palembang di usia 92 tahun. Amarhum dimakamkan di pemakaman keluarga di KM 10, Palembang sore tadi.

Seperti diketahui R.A Tutty Zahra, anak pertama dari pasangan RHM Akib dan Galunima, dikenal bukan hanya penari ulung, tetapi juga meraih gelar sarjana hukum pertama dari Palembang, lulus dari Universitas Indonesia pada era 1960-an. 

Keberhasilannya tidak hanya terdapat dalam seni, melainkan juga dalam dunia kepolisian, di mana ia berdinas di Komando Daerah Kepolisian (Komdak) atau yang kini disebut Polda Sumsel.

Menurut Ibrahim, adik almarhum, Tutty Zahra meninggal akibat penyakit jantung yang dideritanya. "Ya, dini hari semalam meninggal dunia, beliau meninggal di usia 92 tahun," katanya.

Lebih lanjut Ibrahim menceritakan, seiring karirnya di bidang seni, Tutty Zahra juga terlibat dalam kepolisian hingga masuk ke dunia politik, dan menjadi anggota DPRD Sumsel. Bahkan almarhumah juga sempat duduk sebagai anggota DPR RI pada tahun 1980-an. 

"Kapolda dulu mengusulkan beliau ini untuk ikut berpolitik jadi di carikan jalurnya. Sehingga masuk sebagai anggota DPRD Sumsel dalam beberapa periode. Lalu ke Jakarta menjadi anggota DPR RI tahun 1980-an beliau di DPR RI dari Partai Golkar," tukasnya.

Meskipun aktif di politik, almarhum tidak melupakan akarnya dalam seni. Tutty Zahra berhenti menari setelah terlibat di kepolisian dan dunia politik. 

Namun kontribusinya sangat besar dalam melestarikan Tari Gending bahkan memberikan pengaruh pada budayawan kota Palembang, Ali Hanafiah. "Ibu Tutty sempat membuat buku tentang adat perkawinan dan buku ini menyempurnakan buku yang pernah di buat bapaknya RHM Akib. Bahkan budayawan Palembang, Ali Hanafiah juga belajar dari beliau," jelasnya.

Sementara itu, sejarawan kota Palembang, Kemas Ari Panji, menyatakan bahwa Palembang dan Sumatera Selatan kehilangan sosok yang ikut membesarkan dan mengenalkan Tari Gending Sriwijaya. 

"Tutty Zahra memberikan kontribusi besar terhadap seni dan budaya Palembang, serta terlibat dalam sejarah perkembangan tari tradisional tersebut. Tentunya kita sangat kehilangan," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan, mantan Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) Vebri Al Lintani yang mengatakan dunia seni di Palembang kehilangan sang maestro yang memiliki kontribusi besar dalam seni tari di Palembang dan Sumsel.

"Jadi sebagai wong Palembang, wong Sumsel kita bersyukur ada salah satu pelaku yang  ikut membesarkan dan mengenalkan Tari Gending Sriwijaya. Kepergian almarhum kehilangan bagi kita semua pelaku seni di Palembang," pungkasnya.

Gambar R.A Tutty Zahra mengenakan pakaian adat kebesaran untuk putri Palembang/Foto: Dokumen RHM Akib

Sejarah Tari Gending Sriwijaya

Tari Gending Sriwijaya merupakan tari kolosal untuk menyambut tamu di Sumatera Selatan. Tari Gending Sriwijaya awalnya diciptakan untuk menyambutan tamu agung di jaman kerajaan dan Keresidenan Palembang.

Tarian ini melukiskan kegembiraan gadis-gadis Palembang saat menerima tamu yang diagungkan. Tepak yang berisi kapur, sirih, pinang dan ramuan lainnya dipersembahkan sebagai ungkapan rasa bahagia, Tari Gending Sriwijaya diiringi Gamelan dan lagu Gending Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya pertama kali dipentaskan dimuka umum pada tanggal 2 Agustus 1945, di halaman Masjid Agung Palembang, yaitu ketika pelaksanaan upacara penyambutan kedatangan M. Syafei Ketua Sumatora Tyuo In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra) dan Djamaluddin Adinegoro (Ketua Dewan Harian Sumatera ). 

Pada saat pergelaran tari Gending Sriwijaya pertama kali digelar dan dibawakan oleh 9 penari antara lain : Siti Nuraini, Rogayah H, Delima A. Rozak, Thuhfah, Halimah, Busron, Darni, Emma dan Tutty Zahara.

Tarian yang khas ini mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu yang istimewa itu. Tarian digelarkan 9 penari muda dan cantik-cantik yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, paksangkong, Dodot dan Tanggai.

Mereka merupakan penari inti yang dikawal dua penari lainnya membawa payung dan tombak. Sedangkan di belakang sekali adalah penyanyi Gending Sriwijaya. 

Namun saat ini peran penyanyi dan musik pengiring ini sudah lebih banyak digantikan tape recorder. Dalam bentuk aslinya musik pengiring ini terdiri dari gamelan dan gong. 

Sedang peran pengawal terkadang ditiadakan, terutama apabila tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup. 

Penari paling depan membawa tepak sebagai Sekapur Sirih untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridon terbuat dari kuningan. 

Persembahan Sekapur Sirih ini menurut aslinya dilakukan oleh putri saja. Sultan atau bangsawan. Namun kemudian, dalam perkembangannya, Tari Gending Sriwijaya menjadi sebuah kesenian dalam festival budaya, hiburan saat pesta pernikahan dan kegiatan instansi pemerintahan.