Pimpinan Komisi IV Berikan Catatan Kebijakan Pangan Pemerintah, Terutama Soal Impor Beras

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini/Net
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini/Net

Momen hari besar Natal dan Tahun Baru 2023, harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Terutama, dalam memastikan keterjangkauan harga dan ketersediaan stok bahan pangan bagi masyarakat.


“Bahan pokok mulai beras, jagung, bawang putih, bawang merah, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hingga telur ayam harus dipastikan dapat diakses masyarakat dengan harga wajar,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini di Jakarta, Sabtu (24/12).

Langkah-langkah dan tindakan cepat pemerintah memastikan kesiapan bahan pangan ini penting. Kata Anggia, mengingat belum lama ini di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, sebanyak 500 ton beras di gudang Bulog dilaporkan hilang.

“Tindakan abai, ceroboh, dan kurang waspada seperti demikian semestinya tidak boleh lagi terjadi di manapun, di instansi apapun. Apalagi yang hilang adalah bahan pangan sebagai hajat hidup mendasar semua orang,” terangnya.

Pada sisi lain, Anggia memberikan catatan pada kebijakan pangan sepanjang 2022 yang masih perlu perbaikan serius agar di 2023 nanti kebijakannya lebih terarah, lebih tepat sasaran, dan berdampak serta bermanfaat lebih luas untuk mencapai tujuan ketahanan pangan nasional.

Terutama, kata legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, soal target swasembada pangan. Di mana, realitas yang ada pemerintah sampai saat ini masih cukup banyak mengandalkan impor pada komoditi beras.

"Alih-alih swasembada pangan, terutama beras sebagai bahan pangan pokok, data impor beras pemerintah tiap tahunnya sangat mengiris hati petani lokal," katanya.

"Pada 2019, kita impor 444,50 ribu ton, 2020 menjadi 356,28 ribu ton, 2021 naik 407,74 ribu ton, dan hingga Oktober 2022 sudah 301 ribu ton. Per Desember 2022 ini sudah dipastikan kita akan impor lagi 500 ribu ton hingga Februari 2023 nanti, urainya.

Selama ini, kata dia, atas nama pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan stabilisasi harga, impor terus menjadi pilihan kebijakan pangan. Padahal, jauh lebih penting dalam pengarusutamaan kebijakan pangan adalah keberpihakan pada petani lokal.

Sambungnya, CBP dan harga terjangkau itu penting, tapi setiap isu impor mencuat, mental petani pasti jatuh, dan ini jauh lebih berbahaya karena sangat berpengaruh pada produktivitas petani. Pasalnya, petani merasa tidak punya harapan terhadap lahan garapannya karena pemerintah dinilai tidak berpihak pada mereka.

"Sehingga, tidak ada pilihan lain selain keberanian pemerintah mulai mengurangi impor secara drastis, bahkan menghentikannya sama sekali dengan mulai mengoptimalkan penyerapan beras hasil panen sendiri," pungkasnya.