Pengamat Sebut KPU Dinilai Lakukan Pelanggaran Etik Berat, Bagaimana Nasib Gibran? 

Sidang DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, di Ruang Sidang Utama DKPP RI, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (8/1)/RMOL
Sidang DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, di Ruang Sidang Utama DKPP RI, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (8/1)/RMOL

Polemik dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal implementasi Putusan MK Nomor 90 mengenai batas usia cawapres minimal 40 tahun terus mendapat perhatian publik. 


Saat ini, sidang dugaan pelanggaran etik tersebut masih terus bergulir di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

Pekan lalu, DKPP telah menghadirkan saksi ahli untuk dimintai pendapatnya. Dalam sidang, saksi ahli, Ratno Lukito menyebut jika KPU telah melakukan bentuk pelanggaran etik yang sangat berat. Lantaran telah menerima dan menetapkan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. 

Pakar Hukum Tata Negara, Firman Freaddy Busroh mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang berwenang menguji materi (judicial review). MK hanya bertindak sebagai negative legislature. Bukan sebagai pembuat regulasi. 

Sehingga, ketika ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perubahan suatu UU, maka yang berhak melakukan perubahan adalah lembaga DPR maupun Presiden. Artinya, UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu itu diubah dulu. Selanjutnya, baru merubah PKPU sebagai aturan turunan. 

"Disinilah sebetulnya secara ketatanegaraan, KPU telah lalai," kata Firman saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel. 

Sementara, yang dilakukan KPU yakni langsung menerima dan menetapkan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Tanpa mengubah terlebih dahulu UU Pemilu serta PKPU No 19 Tahun 2023 yang masih mengatur usia minimal cawapres 40 tahun. 

Jika nantinya terbukti melakukan pelanggaran, sanksi etik tentunya telah menunggu Komisioner KPU. Lantas, apakah pembuktian pelanggaran tersebut akan membatalkan pencalonan Gibran? 

Terkait hasil keputusan DKPP, Pengamat Politik Sumsel, Ade Indra Chaniago mengungkapkan, putusan tersebut tidak bersifat final. Sebab, masih bisa diujikan kembali di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Permasalahannya, kata Ade, proses mengadili perkara tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. "Di sisi lain, tahapan pemilu saat ini terus berjalan," ucapnya.

Namun, lanjut Ade, permasalahan etik yang sedang disidang oleh DKPP dapat membuktikan adanya politisasi aturan untuk kepentingan dalam memuluskan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo dalam mengikuti kontestasi Pilpres 2024.

"Secara kasat mata atau terang benderang bisa kita nilai sendiri jika peristiwa ini ada politisasi aturan. Demi memuluskan langkah Gibran yang notabene anak Presiden Joko Widodo untuk maju cawapres," jelasnya. 

Akademisi STISIPOL Chandradimuka itu menilai kondisi tersebut bukan hanya menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu. Tapi juga dianggap telah mencederai nilai-nilai demokrasi. 

"Karena sebelumnya masalah ini belum pernah terjadi, tapi karena peristiwa ini nilai demokrasi kita menjadi tidak baik. Karena nilai demokrasi tercederai dari gugatan tersebut dan dampaknya kepercayaan publik terhadap pada lembaga pemilu dan MK juga menurun," tandasnya.

Diberitakan sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa saksi ahli dalam sidang lanjutan ketiga pemeriksaan empat perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang melibatkan Ketua dan Anggota KPU RI, di Ruang Sidang DKPP, Jakarta Pusat, Senin (15/1).

Saksi ahli Ratno Lukito yang dihadirkan dalam persidangan tersebut menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan putusan yang bersifat non-executable.

Karena menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 pada Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) serta penjelasannya tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus ditindaklanjuti oleh Presiden atau DPR untuk mengubah norma hukum pasal atau ayat dalam UU yang dibatalkan/dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (2) dari UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa tindak lanjut oleh Presiden atau DPR untuk mengubah rumusan norma hukum UU yang dibatalkan itu agar tidak ada kekosongan hukum.

Dengan demikian UU No. 12 Tahun 2011 itu memerintahkan agar UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur syarat minimal usia cawapres 40 tahun, diubah terlebih dahulu.

Setelah diubah sesuai Putusan MK No. 90, KPU baru dapat melakukan konsultasi dengan DPR atau Presiden untuk melakukan perubahan peraturan pada Pasal 169 (q) UU No. 7 Tahun 2017 dan KPU No. 19 Tahun 2023 agar norma hukum atau pasalnya yang masih mengatur syarat minimal usia 40 tahun bagi cawapres diubah rumusannya sehingga sesuai dengan Putusan MK No. 90.

Praktik yang dilakukan oleh Presiden atau DPR dan KPU ternyata tidak seperti yang diamanatkan dalam UU. Presiden atau DPR mengabaikan perintah Pasal 10 ayat 1 (q), dan ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011 untuk menindaklanjuti Putusan MK No. 90. Karenanya terjadilah kekosongan hukum dalam UU Pemilu yang mengatur syarat minimal usia cawapres hingga sekarang.

Celakanya lagi, KPU belum mengubah Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 yang masih mengatur usia minimal cawapres 40 tahun. Namun tiba-tiba KPU menerima dan menetapkan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka.

Di samping ada masalah kekosongan hukum soal syarat usia cawapres, juga ada masalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan KPU.

Karena KPU tidak memiliki dasar hukum yang sah dan valid untuk menerima dan menetapkan Gibran sebagai bakal cawapres.

KPU baru pada 3 November 2023 menerbitkan Peraturan KPU No. 23 Tahun 2023 sebagai Perubahan dari Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Hal ini merupakan bentuk pelanggaran etik yang sangat berat yang dilakukan oleh KPU. Legal disobedience yang dilakukan oleh KPU telah mengakibatkan rentetan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran etika yang besar.