DPRD OKI Berikan Perhatian Terkait Ganti Rugi Lahan Warga Cengal

Pertemuan di ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD OKI, Rabu (25/5)
Pertemuan di ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD OKI, Rabu (25/5)

DPRD OKI akhirnya memberikan respon terkait sengketa lahan yang menyebabkan gejolak warga Desa Ulak Kedondong Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, Sumsel.


Ketua Komisi III DPRD OKI Made Indrawan menyatakan, dari kesimpulan yang diperoleh bahwa ganti rugi lahan masyarakat sebesar Rp 1.000.000 perhektar dirasa terlalu rendah (kecil).

"Menurut masyarakat harga ganti rugi yang pas itu sebesar Rp 11.000.000 perhektar. Tapi yang disepakati pada waktu itu sebesar Rp 1.000.000 perhektar," terangnya saat pertemuan di ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD OKI, Selasa (24/5).

Made juga mengatakan, masyarakat juga mempertanyakan proses ganti rugi lahan yang dinilai tidak ada sosialisasi yang lebih luas dan hanya sebagian saja warga yang tahu adanya sosialisasi tersebut.

"Tadi juga disampaikan ada sebagian tanah masyarakat yang tidak diganti rugi berdasarkan alas hak yang dimiliki," ucapnya.

Ia juga menegaskan, usai pertemuan tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan untuk selanjutnya dilakukan rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh lembaga DPRD OKI.

Kuasa hukum masyarakat Desa Ulak Kedondong Davidson mengatakan, permasalahan tersebut melibatkan masyarakat Desa Ulak Kedondong dan pihak PT Samora Usaha Jaya (SUJ) di tahun 2015 dan 2016 lalu.

"Jadi kami buka sekarang, karena kita menyakini bahwa ada amanat Undang-undang Nomor 39 tahun 2013 yang tidak dijalankan oleh pihak perusahaan ataupun pemerintah desa pada saat itu," jelasnya.

Ia menjelaskan, mulai dari pembebasan lahan yang tidak transparan, baik dari pemerintah dan perusahaan menimbulkan indikasi adanya dugaan-dugaan. 

"Kami meminta keterangan dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) kali ini segamblang - gamblangnya sesuai aturan yang benar," tegasnya. 

Ia juga menjelaskan, terdapat beberapa tuntutan yang disampaikan yaitu tentang harga pembebasan lahan, lalu tentang adanya indikasi pemotongan 30 persen yang dipotong dari hak masyarakat yang tidak tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

"Selain itu juga soal kejelasan plasma yang sudah berjalan sekitar 5 - 6 tahun. Sampai hari ini juga tidak ada kejelasan, padahal beberapa kali kita sampaikan kepada Kepala Desa Definitif dan tokoh masyarakat," ucapnya.

Lanjutnya, hal itulah yang menjadi alasan pihaknya mempertanyakan hal tersebut pada rapat RDP kali ini.

Dirinya mengharapkan setelah pertemuan tersebut, para pejabat baik dari legislatif dan eksekutif dapat menyelesaikan permasalahan dan masyarakat memperoleh hak-haknya lagi.