Pengamat Militer Tak Setuju Proyek Satelit Kemhan Disebut Korupsi

Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie. (Net/rmolsumsel.id)
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie. (Net/rmolsumsel.id)

Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie tidak setuju soal proyek satelit pada Kementerian Pertahanan tahun 2015-2016 disebut-sebut terindikasi kasus korupsi.


Hal itu menyikapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengenai adanya dugaan pelanggaran yang mengakibatkan kerugian negara pada proyek satelit Kementerian Pertahanan tersebut. Bahkan pernyataan itu terkesan menyalahkan pejabat Kemhan pada saat itu.

Terkait hal ini, menurut pengamat militer, pejabat negara Indonesia selalu melihat suatu masalah hanya dari kacamata administrasi anggaran, namun mengabaikan aspek yang bisa menjadi pemicu. Karena menurut Connie, korupsi harus dipandang sebagai suatu tindakan untuk memperkaya diri atau orang lain.

“Apakah kasus satelit dengan cerita panjang perjuangannya ini bisa dikategorikan (korupsi) seperti itu? Ini yang menjadi perdebatan dan perlu pembuktian dan bukan itu harusnya urgensi konsentrasi negara saat ini,” kata Connie saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Selasa malam (18/1).

“Saya merasa statement pak Mahfud itu seakan statement mencari kambing hitam. (harusnya) Mesti tahu sejarahnya dulu,” sambung Connie.

Menurut Connie, proyek satelit Kemhan ini merupakan bagian dari proyek strategis nasional lantaran menyangkut kepentingan nasional. Connie mengungkapkan, pada tahun 2015 ketika Jokowi baru menjalani satu tahun pemerintahannya memang mewacanakan untuk membuat tol langit usai mewacanakan Indonesia menjadi poros maritim.

“Saya ingat betul, pada saat pak Jokowi bilang tol langit popularitasnya naik 4 persen. Jadi saya mau katakan, ini adalah keputusan presiden dan terkait dengan kepentingan nasional, jadi juga bukan semata keputusan presiden,” terang Connie.

Lalu Connie kemudian mengulas soal perjalanan proyek satelit ini hingga akhirnya Kemhan memilih kontrak dengan Avanti Communications Grup dan Navayo.

“Disini ada dua hal, ada satelit sewa, ada satelit beli. Pertanyaannya, kenapa musti sewa dari Avanti, karena itu hal gak boleh kosong lama-lama. Membeli atau membuat satelit baru itu memakan waktu 36 bulan. Maka masuklah Avanti, untuk mengisi orbit itu sementara. Karena Menhan diperintahkan Presiden dalam sidang kabinet untuk menyelamatkannya,” jelas Connie.

Namun karena belum ada anggaran dan terjadi kekosongan kontrak tersebut bermasalah dan digugat pada pengadilan arbitrase. Pada pengadilan Arbitrase di Inggris diputuskan Kemhan harus membayar uang senilai Rp515 miliar kepada Avanti. Sedangkan, pada 22 Mei 2021 pengadilan Arbitrase Singapura mengabulkan gugatan Navayo. Di mana Indonesia diwajibkan membayar uang sebesar USD20,9 juta atau setara Rp314 miliar.

Namun yang Connie sayangkan, pernyataan Mahfud MD soal adanya denda yang disebut berpotensi merugikan negara ini seolah ingin mengatakan bahwa pejabat Kemhan melakukan korupsi. Padahal, ungkap dia, jika satu negara telah dibawa ke pengadilan arbitrase maka telah menjadi perhatian dunia, terlebih jika telah diputuskan denda namun tidak membayarkannya.

Menurut Connie, jika negara telah dibawa ke Mahkamah Internasional atau diajukan ke arbitrase, maka dapat dipastikan bakal memakan biaya. Mulai dari menyewa konsultan hukum guna menghadapi lawyer internasional yang menjadi lawan Indonesia. Ditambah, denda USD2.500 per hari jika telat membayarkan denda yang telah diputuskan.

“Negara kalau sampai dibawa ke mahkamah internasional atau diarbitrase-kan, malunya setengah mati. Jika tidak dilakukan (bayar denda) akan mempermalukan Indonesia di mata dunia internasional dan diragukan oleh ITU (International Telecommunication Union),” pungkas Connie.