Sejarawan Unsri Nilai Banjir di Palembang Bentuk Kegagalan Pemkot Dalam Menata Kota

Sejarawan dari Universitas Sriwijaya  Dr Dedi Irwanto MA
Sejarawan dari Universitas Sriwijaya Dr Dedi Irwanto MA

Banjir yang terjadi di sejumlah titik di kota Palembang membuat prihatin sejumlah  pihak di Palembang, pasalnya masalah ini selalu kerap terjadi ketika musim penghujan tiba. Namun hingga kini belum ada solusi tepat mengatasi banjir yang selalu menjadi langganan masyarakat Palembang ini, bentuk kegagalan Pemkot Palembang  kah banjir ini?


Sejarawan dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Dedi Irwanto MA melihat banjir di kota Palembang memang permasalahan yang tidak pernah terselesaikan dari walikota Palembang sebelumnya hingga Walikota Palembang saat ini, hal itu dinilainya sebagai  adalah bentuk kegagalan Pemkot Palembang.

"Saya pikir jelas banjir ini adalah bentuk kegagalan Pemerintah Palembang terutama dalam dua periode terakhir ini saya lihat ada kegagalan pemerintah kota Palembang  dalam persoalan banjir, terutama kegagalan pemerintah kota Palembang dalam  menata kota terutama menata pembangunan perumahan," kata Dosen FKIP Program studi Pendidikan Sejarah Unsri ini, Kamis (6/10).

Banjir di Jalan Basuki Rahmat Palembang/RMOL

Menurutnya masyarakat Palembang kedepannya harus perlu tahu pemimpin Palembang  yang dipilih nantinya memiliki  wawasan yang tinggi tentang lingkungan. 

"Jika perlu dalam memilih calon walikota Palembang kedepan, masyarakat harus membuat kontrak politik terkait penanganan banjir ini dengan calon walikota Palembang nantinya," tukasnya.

Dijelaskan Dedi,  dalam kajian sejarah kota Palembang adalah kota air  dalam arti hampir semua wilayah Palembang sedikit sekali  memiliki daratan, daratan yang ada biasanya berbentuk delta-delta atau daerah perbukitan seperti diantaranya Bukit Seguntang.

"Selebihnya delta-delta atau pulau yang dikelilingi air  tapi pulau itu juga ada siklusnya, artinya ketika musim pasang datang pulau-pulau itu tergenang air juga, kecuali musim surut meninggalkan tanah berlumpur, kondisi ini sudah bertahan lama, sejak dari masa lampau hingga masa kolonial Belanda," katanya.

Banjir di kawasan Simpang Polda Sumsel/RMOL

Lalu menurutnya di masa kolonial Belanda di Palembang dibuat kebijakan dalam membangun Palembang dengan menimbun daerah-daerah yang tergenang  dimana delta-delta tadi dihubungkan satu sama lain kemudian ditinggikan menjadi jalan daratan.

"Tetapi kebijakan pemerintah kolonial Belanda itu kan juga memikirkan dampak lingkungannya, artinya ketika menimbun daratan mereka membangun saluran irigasi atau DAM atau sungai di DAM airnya mengalir dengan baik dan dirawat. Tapi kebijakan pemerintah kolonial Belanda itu tidak diteruskan hingga masa kini, boleh di katakan hingga masa kini  kota Palembang terus ditimbun hingga ke rawa-rawa untuk membuat perumahan. Akibatnya resapan airnya kurang baik tanpa saluran air yang jelas kemana air mengalir," katanya.

Bahkan dibeberapa perumahan di Palembang yang tergolong elite saluran-salurannya tidak memperhatikan airnya mengalir kemana kemudian tidak ada kolam resapan air yang baik.

"Kita lihat izin mendirikan bangunan tidak ketat dan mohon maaf perumahan-perumahan itu secara tidak langsung pemiliknya juga banyak tokoh-tokoh,  baik di kota Palembang dan di Sumatera Selatan. Sehingga agak riskan Pemkot Palembang melakukan pengawasan yang ketat dan tegas mengenai perumahan, saya nilai yang paling berdampak sekali pembangunan perumahan sehingga yang paling terdampak adalah pemukiman penduduk yang ada di sekitar perumahan karena airnya tidak jelas mengalir kemana," pungkasnya.