Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi

Focus Group Discussion (FGD) buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi”, yang digelar oleh Teater Potlot
Focus Group Discussion (FGD) buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi”, yang digelar oleh Teater Potlot

Sastra tutur telah menjadi medium ekspresi perempuan di lahan basah Sungai Musi selama ratusan tahun. Dalam tradisi ini, perempuan bukan hanya pelaku seni tetapi juga penjaga pengetahuan dan budaya yang terus diwariskan. Namun, kerusakan lingkungan lahan basah dalam tiga dekade terakhir mengancam keberlangsungan tradisi ini.


Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Endang Rochmiatun, M.Hum., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, dalam Focus Group Discussion (FGD) buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi”, yang digelar oleh Teater Potlot di Palembang, Kamis (12/12/2024). Buku tersebut mendokumentasikan peran perempuan dalam sastra tutur dan dampak kerusakan lingkungan terhadap tradisi ini.

Endang menjelaskan, keberadaan sastra tutur yang berkembang di masyarakat Sumatera Selatan membuktikan bahwa perempuan telah lama menjadi pelaku aktif dalam dunia sastra. Penelitiannya bahkan menemukan puisi-puisi karya perempuan Palembang di awal abad ke-20, yang dimuat di surat kabar seperti Pertja Selatan dan Kemudi.

“Sastra, baik klasik maupun modern, menjadi ruang bagi perempuan untuk menggambarkan kehidupan mereka—diri, keluarga, hingga lingkungan. Penting untuk mengarsipkan karya-karya sastra tutur yang masih diingat oleh para maestro agar dapat terus dikaji,” ujar Endang.

Kristanto Januardi, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Sumatera Selatan, menambahkan bahwa perempuan memiliki perspektif unik dalam menyuarakan keresahan melalui sastra, termasuk isu lingkungan.

“Dalam buku ini, misalnya, terlihat bagaimana sastra tutur mencerminkan penderitaan perempuan akibat kebijakan lelang lebak lebung dan kerusakan lahan basah,” kata Kristanto.

Dr. Muhammad Walidin, M.Hum., dari UIN Raden Fatah, merekomendasikan agar sastra lisan seperti andai-andai lebih sering dipertunjukkan dan diajarkan dalam pelatihan menulis, termasuk melalui platform digital. “Penelitian tradisi lisan penting untuk pembangunan bangsa, baik dari aspek fisik maupun psikis,” tegasnya.

Cahyo Sulistyaningsih, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan, menyarankan agar maestro sastra tutur yang karyanya didokumentasikan dalam buku tersebut diusulkan sebagai maestro seni. “Jika ditetapkan sebagai maestro oleh pemerintah, mereka akan menerima jaminan hidup dan santunan bulanan,” ujarnya.

Lahan basah Sungai Musi yang meliputi sekitar tiga juta hektar mengalami kerusakan masif akibat eksploitasi. Menurut Dian Maulina, salah satu penulis buku ini, perempuan adalah kelompok yang paling terdampak oleh perubahan bentang alam tersebut.

“Rusaknya lahan basah tidak hanya merugikan ekosistem tetapi juga menghilangkan tradisi terkait perempuan, seperti sastra tutur, kuliner, dan kerajinan,” jelas Dian. Buku ini diterbitkan dengan tujuan menyelamatkan lahan basah Sungai Musi yang tersisa, sekaligus melestarikan tradisi yang bergantung pada keberadaannya.