Petani Kakao Beralih ke Sawit, Industri Cokelat Hadapi Krisis

Tanaman Kakao/Net
Tanaman Kakao/Net

Pelaku industri kakao global menghadapi tantangan besar akibat menurunnya produksi biji kakao, termasuk dari Indonesia, produsen kakao terbesar di Asia. Dari tahun 2015 hingga 2023, hasil panen kakao Indonesia turun hingga setengahnya, menurut data pasar keuangan LSEG.  


Kondisi ini memicu lonjakan harga ekspor kakao Indonesia, yang naik dari sekitar USD 3.400 per ton pada awal Januari menjadi USD 6.500 per ton pada akhir September 2024. Permintaan yang tinggi, keterbatasan pasokan, serta dampak perubahan iklim semakin memperumit situasi.  

Perubahan iklim menjadi penyebab utama turunnya produksi kakao. Suhu ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, dan bencana cuaca semakin menyulitkan petani kakao.  

"Suhu yang ekstrem dan kejadian cuaca yang drastis membuat pertanian kakao semakin sulit," ungkap Jon Trask, CEO Dimitra, penyedia teknologi pertanian untuk petani kakao.  

Laporan Asosiasi Kakao Asia (CAA) menyebutkan bahwa Asia menggiling lebih dari 1,1 juta ton biji kakao per tahun, namun panen regional hanya mencapai 0,3 juta ton. Ketergantungan pada impor kakao dari Afrika Barat dan Amerika Latin semakin memperburuk tekanan pada harga dan logistik.  

Lucrezia Cogliati, analis dari BMI, menjelaskan bahwa pohon kakao sangat sensitif terhadap perubahan iklim. “Produksi kakao terancam oleh peningkatan suhu, banjir, kekeringan, dan perubahan kelembapan,” ujarnya.  

Selain iklim, faktor ekonomi juga memengaruhi petani kakao Indonesia. Banyak petani beralih menanam minyak sawit atau karet, yang dianggap lebih menguntungkan.  

Makalah CAA menyoroti bahwa tanpa insentif yang memadai untuk petani, produksi kakao di Indonesia akan terus menyusut, meningkatkan ketergantungan pada impor.  

Perusahaan seperti Unigra, pembuat bahan berbasis kakao asal Italia, juga merasakan dampaknya. Denis Cavrini, Direktur Komersial Internasional Unigra, mengatakan bahwa biaya bahan baku melonjak tiga kali lipat tahun ini.  

"Unigra harus menggandakan harga produk berbahan dasar kakao yang dijual ke pasar-pasar di Asia," jelasnya.  

Tanpa tindakan cepat untuk mengatasi tantangan ini, prospek industri kakao, terutama di Asia, terlihat suram. Francisco Martin-Rayo dari Helios memperingatkan bahwa harga kakao akan terus meningkat karena persaingan dengan pembeli dari Eropa dan Amerika.  

Para ahli menegaskan pentingnya inovasi dalam teknologi pertanian, insentif bagi petani, dan upaya mitigasi perubahan iklim untuk menyelamatkan sektor kakao yang menjadi tulang punggung industri cokelat.