Perguruan Tinggi Atas dan PTN Jadi Ladang Subur Akibat Pandemi

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna. (Istimewa/rmolsumsel.id)
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna. (Istimewa/rmolsumsel.id)

Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini membuat ketimpangan antara Perguruan Tinggi (PT) menengah ke atas dan Perguruan Tinggi Negara (PTN) dengan PT menengah ke bawah.


PT menengah ke atas dan PTN justru menjadi ladang subur untuk menggaet jumlah mahasiswa. Sedangkan, PT menengah ke bawah kesulitan mendongkrak penerimaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna mengakui hal tersebut, Dia menguraikan bahwa data BPS yang dirilis bulan Agustus ini telah memberi pesan bahwa pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran konsumsi memang tumbuh 5,93 persen.

“Tapi pertumbuhan ini masih di bawah angka pertumbuhan agregat 7,07 persen pada triwulan kedua (Q2) 2021 (yoy),” tuturnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/8).

Mukhaer Pakkanna menjelaskan, dari rerata komponen pengeluaran rumah tangga, ternyata yang terendah adalah pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Tumbuh terseok-seok hanya 1,2 persen, terutama pengeluaran pendidikan dan kesehatan bagi kelas masyarakat miskin. Kontras dengan itu, belanja rokok mereka justru makin terdongkrak melebihi angka 5 persen.

“Bagi masyarakat miskin, tentu lebih penting belanja rokok ketimbang untuk pendidikan dan kesehatan keluarganya,” sambungnya.

Rendahnya pengeluaran komponen pendidikan dan kesehatan paralel dengan turunnya rerata upah pekerja baik di sektor industri maupun sektor pertanian. Bahkan mereka banyak yang terpental dan kehilangan pekerjaan. Maka, bagi pengelola pendidikan tinggi, khususnya level menengah-bawah, kenaikan SPP menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Elastisitas permintaannya harus menjadi variabel determinan.

Jika ada pengelola perguruan tinggi terutama kelas menengah ke bawah berani menaikkan SPP, pasti akan ditinggalkan mahasiswa. Terjadi eksodus alias putus kuliah atau mencari tempat kuliah yg jauh lebih mudah dan murah.

Sementara untuk perguruan tinggi level menengah ke atas dan PTN, justru menjadi ladang subur untuk menggaet jumlah mahasiswa.

Masyarakat menengah atas, catatan BPS melaporkan bahwa mereka ini justru memilki tingkat simpanan dan tabungan yang masih sangat tinggi, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Tentu, kelas ini mencari pilihan kuliah dan kesehatan yang lebih mahal dari rerata untuk anak-anaknya.

“Artinya, ke depan akan terjadi ketimpangan antara perguruan tinggi kelas menengah atas dengan kelas menengah bawah terutama dalam rekrutmen jumlah mahasiswa,” lanjutnya.

Namun, perlu diingat, hukum alam berbicara bahwa yang survive dalam setiap bencana adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan situasi. Di tengah gelombang tsunami digital, maka perlakuan kebijakan fleksibilitas pengelolaan perguruan tinggi harus diterapkan secara fair

Jadi, jargon kampus merdeka, sejatinya juga diarahkan kepada kemerdekaan dalam pengelolaan perguruan tinggi untuk berdaptasi, tidak sekadar perlakuan untuk kebebasan mahasiswa memilih banyak opsi praktik di lapangan. “Tapi institusi dan dosen juga harus diberikan kemerdekaan memilih opsi. Jangan mereka selalu diterungku dengan dalih standarisasi yang kurang elok,” tutupnya.