Penuhi Panggilan Penyidik sebagai Saksi, Dokter SF dan Bupati AS Bisa Dijerat Pidana?

Dokter SF didampingi kuasa hukumnya saat memenuhi panggilan penyidik di Mapolda Sumsel. (Istimewa/rmolsumsel.id)
Dokter SF didampingi kuasa hukumnya saat memenuhi panggilan penyidik di Mapolda Sumsel. (Istimewa/rmolsumsel.id)

Penyelidikan dan penyidikan atas laporan NY terkait pernikahan tanpa izin Bupati AS terus bergulir.


Terbaru, istri AS saat ini yakni dokter SF datang memenuhi panggilan penyidik Subdit Renakta Polda Sumsel pada Jumat (19/8). 

SF dipanggil sebagai saksi atas laporan NY, karena dengan dialah Bupati AS dilaporkan menikah tanpa izin NY pada Jumat 28 Juni 2019 lalu. 

Setidaknya ada 17 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik untuk dijawab oleh SF yang datang dengan setelah abu-abu dan mengenakan masker. 

Dengan didampingi pengacaranya usai menjalani pemeriksaan, SF mengaku menjawab pertanyaan tersebut dengan sejujur-jujurnya, tidak ada yang disembunyikan. 

"Ada yang bisa saya jawab, ada yang tidak," ungkap SF saat ditanya terkait materi pemeriksaan.   

Sementara itu, Elianto Utama kuasa hukum dr SF menambahkan, pihaknya berharap agar kliennya tidak ikut terseret ke ranah pidana.

Bukan tanpa alasan, kasus ini menurut Elianto jelas menjadi pukulan bagi SF dan keluarganya, terlebih anaknya dengan Bupati AS yang masih balita.  

"Kami berharap, hasil pemeriksaan tadi tidak sampai menyeret klien kami ke ranah pidana. Kemarin, klien kami sempat berhalangan hadir karena kan dia punya anak kecil," jelasnya. 

Apalagi dalam penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel, SF yang masih relatif muda, masih berusia dibawah 30 tahun nampak belum dapat menerima kondisi ini. 

Dalam sebuah unggahan di medososnya sebelum mendatangi Polda Sumsel sebagai saksi, SF sempat menuliskan sebuah quote yang menyentuh. "Cukuplah aku yang dipandang hina, untukmu tuan tetaplah terpandang berwibawa," tulis SF.

Kendati demikian, sebagai seorang publik figur, SF juga mendapat dukungan yang banyak untuk bisa melewati masalah ini. 

Sebelumnya diberitakan, Seorang perempuan berinsial NY (42) didampingi tim kuasa hukumnya melaporkan salah seorang Bupati di Sumsel berinisial AS ke Polda Sumsel, Sabtu (30/7).

Di dalam laporan polisi yang dibuatnya, perempuan yang beralamat di Tanah Abang, Jakarta Pusat ini menyebutkan bahwa dirinya dan AS telah terikat pernikahan secara resmi. 

Hal ini sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor :736/22/XII/2014 pada hari Rabu tanggal 3 Desember 2014 yang dikeluarkan oleh KUA Kertapati.

Keduanya bahkan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahir di Jakarta pada 7 September 2015 yang lalu. Namun menurut pelapor NY, suaminya itu kemudian kembali menikah tanpa mengantongi izin darinya selaku istri sah, dengan seorang dokter berinisial SF pada Jumat 28 Juni 2019 lalu.

NY menyebut jika awalnya dia mengetahui rencana pernikahan suaminya itu berdasarkan informasi dari kerabatnya. (baca: https://www.rmolsumsel.id/bupati-as-dilaporkan-ke-polda-sumsel-disebut-melakukan-pernikahan-tanpa-izin).

Mencermati Konstruksi Hukum Pasal 279 KUHP tentang Pernikahan Tanpa Izin

Dalam perspektif hukum, jika bisa dibuktikan maka Bupati AS bakal dijerat dengan pasal 279 KUHP yang ancamannya lima tahun penjara bersama istrinya saat ini dr. SF.

Akan tetapi, untuk dapat menjerat keduanya, akan dibutuhkan sejumlah keterangan saksi dan alat bukti yang kuat. Seperti yang diungkapkan oleh pakar hukum Universitas Taman Siswa Palembang, Dr Azwar Agus SH, M.Hum

"Saya tidak mengomentari itu (kasus pernikahan tanpa izin Bupati AS), kita bicara konstruksinya saja. Dalam pasal (279 KUHP) tersebut dua-duanya baik laki-laki dan perempuannya bisa dijerat," katanya.

Sebagaimana Pasal 279 KUHP yang menyatakan:

1. Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun: 

    (1). Barangsiapa mengadakanperkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;

    (2). Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 Nomor 1-5 dapat dinyatakan.

Sehingga berdasarkan pasal tersebut seseorang dapat dipidana ketika salah satu pihak melakukan suatu perkawinan lagi padahal terhalang oleh perkawinan terdahulunya. Terhalang dimaknakan sebagai indikator yang menyebabkan perkawinan kemudian menjadi tidak boleh dilakukan. 

Pidana dengan pemberatan dilakukan ketika orang yang melakukan perkawinan lagi padahal masih terhalang oleh perkawinan yang terdahulu tetapi menyembunyikan hal tersebut kepada pasangan kawinnya yang kemudian.

Kajian ilmiah mengenai perkawinan tanpa izin ini juga dapat dikaitkan dengan Putusan Nomor 35/Pid.B/2012/PN.MRS. Dilansir dari sebuah jurnal yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, yang dimaksud dengan tindak pidana mengadakan perkawinan yang dilarang yaitu Pasal 279 Ayat (1) Butir 1 KUHP, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Barangsiapa merupakan suatu istilah orang yang melakukan yaitu memperlihatkan si pelaku adalah manusia. Sebagian pakar lagi berpendapat bahwa “barangsiapa” tersebut adalah manusia, tetapi perlu diuraikan manusia siapa dan beberapa orang.

b. Mengadakan Perkawinan Padahal Mengetahui Bahwa Perkawinan atau Perkawinan-Perkawinannya Yang Telah Ada Menjadi Penghalang Yang Sah Untuk Itu. Dalam unsur ini, syarat agar seorang dapat dipidanakan sebagaimana Pasal 279 Ayat (1) Butir 1, ialah orang itu harus sengaja mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinannya belum dilepaskan. 

Putusnya perkawinan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 38 yang menyebutkan alasan yaitu: 1. Kematian; 2. Perceraian; dan 3. Atas putusan pengadilan.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut, lepasnya perkawinan masih didasarkan menurut Pasal 199 B.W, yaitu:

  1. Karena mati;
  2. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 (sepuluh tahun) tahun dan diikuti dengan perkawinan salah satu orang itu dengan orang lain;
  3. Karena ada vonis dari hakim; dan
  4. Karena perceraian bisa menurut peraturan dalam B.W.