Dilihat secara spesifik, dominasi permasalahan yang terjadi pada aktivitas pertambangan di Sumsel adalah pelanggaran terhadap lingkungan.
- Universitas Muhammadiyah Palembang Siap Kelola Tambang di Sumsel, Ajukan Izin Batu Bara dan Pasir Korsa
- Pengelolaan Tambang oleh Kampus Harus Diberi Batasan, DPRD Sumsel: Jangan Sampai Ganggu Proses Perkuliahan
- Sugico Grup Diduga Lakukan Ijon IUP yang Merugikan Negara, Kementerian ESDM dan Kejagung Didesak Segera Bertindak!
Baca Juga
Seperti yang diberitakan Kantor Berita RMOLSumsel, untuk pelanggaran lingkungan, PT MPC dan PT LCL di Muara Enim disinyalir menghilangkan Sungai Penimur. (baca: https://www.rmolsumsel.id/menapak-jejak-dugaan-pencemaran-sungai-penimur-akibat-aktivitas-pertambangan-bagian-pertama).
Selain itu, PT MPC diketahui juga membangun pelabuhan bongkar batubara di tepi Sungai Lematang, tanpa adanya dokumen lingkungan yang melanggar ketentuan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Baik secara sengaja ataupun lalai, sanksinya telah diatur seperti tertuang dalam pasal 98 yang berbunyi :
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."
Dan pasal 99 yang berbunyi : "Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)."

Ada pula PT Sriwijaya Bara Priharum (PT SBP) yang diduga telah mencemari dan memindahkan alur Sungai Ulang Ulang di Desa Penyandingan Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim dengan limbah dari aktivitas tambang mereka. Apa yang dilakukan PT SBP ini menurut informasi yang dihimpun Kantor Berita RMOLSumsel, tidak sesuai dengan dokumen awal yang disampaikan dalam pengajuan IUP.
Terkait Sungai Ulang Ulang, PT SBP juga telah mendapatkan Surat Teguran dari Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera VIII pada Juni 2021 lalu, untuk mengembalikan fungsi sungai tersebut. Dimana berdasarkan tinjauan dari pihak terkait, telah terjadi longsoran di dekat galian kawasan konsesi tambang PT SBP yang menyebabkan air sungai masuk ke dalam galian itu, sehingga membuat debit normal air sungai berkurang.
Bahkan beberapa pelanggaran lain disinyalir dilakukan oleh perusahaan ini, seperti tidak memiliki titik penaatan dalam pemenuhan baku mutu pembuangan limbah cair ke sungai dan pemenuhan kewajiban kontraktor jasa pertambangan yang wajib memiliki IUJP sebelum melakukan penambangan.
Sementara di kabupaten Lahat, ada PT DAS yang diduga mengubah alur Sungai Larangan yang berada di areal tambang mereka. (baca: https://www.rmolsumsel.id/kolam-pengendap-lumpur-tambang-batubara-pt-duta-alam-sumatera-di-lahat-jebol).
Terdapat pula aktivitas tambang PT Bara Alam Utama (PT BAU) yang disinyalir mencemari dan memindahkan alur Sungai Kungkilan di Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat. Informasinya Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat beberapa waktu lalu juga telah memberikan sanksi kepada PT BAU dan tiga perusahaan lain di lokasi yang sama, yang diduga ikut mencemari Sungai Kungkilan yakni PT KKA, PT BME dan PT MAS.
Ironis, perusahaan yang disinyalir melakukan pelanggaran lingkungan ini merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Perusahaan-perusahaan ini disinyalir telah melanggar ketentuan dalam UU No.17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Dimana dalam Pasal 70 disebutkan :
"Setiap orang yang dengan sengaja (a) Melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); (b) Menyewakan atau memindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha atau izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4); atau (c) Melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.0O0.000.000,00 (lima miliar rupiah),"
Juga dalam Pasal 74 yang berbunyi : Dalam hal tindak pidana Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/ atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pdana yang dimaksud yakni berupa : (a) Pidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; (b) pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana yang lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; dan/ atau (c) Pidana penjara terhadap pimpinan badan usaha yang besarnya sama seperti yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73.
Kepala Dinas ESDM Sumsel Hendriansyah membenarkan hal tersebut. Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran ini terus saja berulang dan merugikan banyak pihak. Mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, sampai pemerintah provinsi Sumsel. Sedangkan pihaknya tak punya kewenangan untuk melakukan pengawasan, apalagi memberi sanksi.

Sementara saat dikonfirmasi terpisah Jumat (8/10), Direktur Teknik dan Lingkungan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Lana Saria tak berkomentar banyak. Padahal, Lana sendiri merupakan pemegang wewenang tertinggi terkait teknis dan lingkungan pertambangan mineral dan batubara di seluruh Indonesia, yang berada dibawah Direktur Jenderal dan Menteri ESDM. Keputusan untuk memberikan izin maupun sanksi bagi perusahaan tambang yang melanggar berada di tangannya.
Sementara untuk pengawasan, pihaknya menempatkan seorang Kepala Inspektur Tambang (KAIT) di Sumsel. Hanya saja pelanggaran ini terus saja berulang.
Sikap Dirjen Minerba Dinilai Sebagai Kejahatan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel, Hairul Sobri, menyayangkan sikap pemerintah pusat melalui Dirjen Minerba yang tidak tegas dalam setiap pelanggaran ini. Padahal, menurutnya sudah ada aturan yang mengikat soal kaidah pertambangan yang baik, yakni Permen ESDM No.26 Tahun 2018.
Didalamnya diatur berbagai hal terkait pertambangan, termasuk bagaimana aktivitas ini memberikan manfaat bagi khalayak. "Dengan begitu, terlihat kalau regulator tidak tegas. Seharusnya mereka tunjukkan dan buktikan kalau sanksi (bagi pelanggar) ini berjalan. Beri kepastian kepada masyarakat," katanya.
Terlebih, ungkap Sobri, saat semua perusahaan pelanggar lingkungan ini merupakan perusahaan asing. Sehingga, sudah menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba untuk memberikan sanksi atau menutup perusahaan tambang tersebut jika melanggar, selain memberikan izin pertambangan.
"Seharusnya mereka (Dirjen Minerba Kementerian ESDM) berani, bukan tunduk di bawah perusahaan asing yang mencari makan disini. Mereka harus tunjukkan ketegasan, berani memberi izin harus juga berani memberi sanksi. Sehingga kami sangat menyayangkan sikap (tidak tegas) seperti ini," ungkap dia.
Pelanggaran tambang yang terus terjadi dan terkesan dibiarkan oleh regulator ini, dinilainya sebagai kejahatan dari pemerintah terhadap keselamatan rakyatnya. Sebab disisi lain, uang yang masuk ke kas negara sebagai pajak dari pertambangan ini tidak signifikan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat.
"Jika memang pemerintah sudah tidak sanggup lagi, maka setop menggunakan energi kotor ini dan beralih dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang nilainya ekologi serta mengandalkan kearifan lokal," kata Sobri.

Sebab, bencana yang terjadi saat ini, banyak juga dikarenakan masifnya aktivitas pertambangan. Dampak tambang terhadap kerusakan lingkungan diantaranya deforestasi, atau penggundulan dan alih fungsi hutan.
"Kemudian, saat mulai beroperasi penggalian tanah hingga kedalaman beberapa meter sampai bertemu batubara, tentunya merusak suhu dan iklim di lokasi sekitar. Belum lagi dampak penggaliannya seperti hilangnya resapan air dan penyangga yang dapat menyebabkan longsor serta banjir," kata Sobri.
Lalu, pertambangan yang dibuka di dalam hutan itu menyebabkan hilangnya ekosistem, baik hewan kecil maupun hewan buas seperti harimau, sampai sungai yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat.
“Kita juga sudah melihat sendiri Harimau bahkan masuk ke perkebunan warga,” ujarnya. Sedangkan tambang batubara ini, hasilnya untuk menyuplai PLTU yang menyebabkan udara kotor dan memberikan dampak buruk dari sisi kesehatan bagi masyarakat.
“Ini bisnis kotor dan dampak negatifnya terlalu besar sehingga sudah harus ditinggalkan, apalagi yang tanpa pengawasan seperti ini,” ujarnya.
- Universitas Muhammadiyah Palembang Siap Kelola Tambang di Sumsel, Ajukan Izin Batu Bara dan Pasir Korsa
- Pengelolaan Tambang oleh Kampus Harus Diberi Batasan, DPRD Sumsel: Jangan Sampai Ganggu Proses Perkuliahan
- Sugico Grup Diduga Lakukan Ijon IUP yang Merugikan Negara, Kementerian ESDM dan Kejagung Didesak Segera Bertindak!