Modus dan Skenario Penyelewengan Keuangan Negara Terungkap dalam Audit BPK RI, Pejabat Seharusnya Introspeksi!

Deputi K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan/dokumen
Deputi K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan/dokumen

Raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diterima oleh pemerintah daerah, pada kenyataannya bukan menjadi tolok ukur keberhasilan utama. 


Pasalnya, raihan WTP itu belum tentu menjadi bukti kalau pemerintahan dijalankan secara transparan, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara. 

Sejatinya, hasil pemeriksaan BPK RI mengungkap sejumlah temuan yang akan ditindaklanjuti lebih dulu secara internal oleh pemerintah daerah terkait. 

Setelahnya, dari hasil pemeriksaan itulah, apabila melewati batas waktu yang ditentukan untuk ditindaklanjuti maka akan menjadi pintu masuk bagi Aparat Penegak Hukum (APH). 

"Sudah banyak sekali contoh, pemda yang meraih WTP namun kemudian diselidiki, disidik lalu ditetapkan tersangka oleh APH," ungkap Deputi K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan dihubungi RMOL Sumsel, Senin (29/7).

Feri mencontohkan, Pemkot Palembang yang pernah meraih opini WTP hingga 11 kali berturut-turut tetap menghadapi kasus korupsi, seperti dugaan korupsi di BUMD PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J) yang kini meyeret beberapa tersangka. Begitu juga dengan dana hibah KONI Sumsel yang saat ini bergulir di pengadilan.

Menurutnya, opini WTP yang diberikan oleh BPK RI seringkali hanya menyoroti laporan yang baik tanpa mengungkap keseluruhan keadaan.

"Kami menilai opini WTP itu malah menyembunyikan yang buruknya. Karena kalau sudah dapat WTP hanya yang bagus-bagus saja yang ditampilkan, ibaratnta kontes kecantikan. Sehingga pemda yang meraih opini WTP itu kesannya bersih dari korupsi, padahal belum tentu," tegasnya.

Kendati demikian, dia juga menilai dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan oleh BPK RI itu, umumnya terungkap berbagai modus dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. 

"Harus diakui, tidak ada pemerintahan yang bersih karena pasti terdapat temuan dalam hasil pemeriksaan BPK. Namun bagaimana mereka bertanggung jawab, itu yang diperlukan," tegas Feri. 

Upaya pertanggungjawaban yang dimaksud adalah bagaimana para pejabat yang bertanggung jawab, seperti misalnya Gubernur, Bupati sampai TAPD melakukan perbaikan dari birokrasi yang salah. 

Juga dengan pengembalian dugaan kerugian negara dalam modus lebih bayar, atau denda pembangunan proyek yang melampaui batas waktu. 

"Hal inilah yang umumnya tidak dipahami, bahkan terkesan ditutupi oleh pejabat terkait, agar tidak sampai di masyarakat," ujarnya. 

Tentu, sambung Feri hal ini akan berkaitan dengan citra pejabat tersebut, ataupun pemda tersebut yang membuat berkurangnya kepercayaan masyarakat. 

Hal ini dipertegas lagi oleh Kordinator FITRA Sumsel, Nunik Handayani yang juga menyoroti bahwa opini WTP dari BPK, tidak serta-merta menjamin bahwa tata kelola keuangan di daerah tersebut bersih.

"Untuk dapat dipercaya sepenuhnya, diperlukan audit menyeluruh. Bukan berarti opini WTP itu menjamin bahwa pemerintah daerah bebas dari tindak korupsi," ungkapnya. 

Lebih lanjut dia mengatakan setiap temuan BPK perlu tindakan tegas agar efek jera terhadap pelanggaran keuangan lebih kuat. Sebab, temuan yang disampaikan oleh BPK cenderung terjadi secara berulang. 

"Modusnya juga nyaris sama, bahkan ada dinas yang menjadi langganan. Misalnya Pekerjaan Umum, atau berkaitan dengan Perjalanan Dinas, banyak lagi. Jadi sebagai kontrol sosial, harus dipantau oleh media dan masyarakat," jelasnya. 

Nunik mengesampingkan muatan politis dalam hasil laporan BPK RI tersebut, karena menurutnya BPK RI melakukan audit setiap tahun. 

"Jangan sampai disebut karena politis, atau menjelang Pilkada. Setiap tahun BPK melakukan audit kok. Tinggal pejabatnya saja yang harus introspeksi, jangan baper," kata Nunik. (*tim)