Menapak Jejak Dugaan Pencemaran Sungai Penimur Akibat Aktivitas Pertambangan [BAGIAN KEDELAPAN]

Dua kapal ponton yang mengangkut batubara di aliran Sungai Lematang. (rmolsumsel.id)
Dua kapal ponton yang mengangkut batubara di aliran Sungai Lematang. (rmolsumsel.id)

Dugaan pencemaran Sungai  Penimur belum berhenti pada keterlibatan tiga perusahaan yang selama bertahun-tahun melakukan aktivitas pertambangan di kawasan Muara Enim dan Prabumulih itu. PT Musi Prima Coal (PT MPC), PT Lematang Coal Lestari (PT LCL) dan PT GHEMMI.


Kali ini tim RMOLSumsel berkesempatan untuk berbincang langsung dengan salah seorang akademisi Universitas Sriwijaya, Dr. Sena Putra Prabujaya. Ia lantas turut melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang bersinggungan antara kepentingan masyarakat dan pemodal.

“Sejak dulu batu bara ini ada di tengah masyarakat. Namun sejak aktivitas pertambangan yang dilakukan pemodal, semua masalah mulai muncul. Muaranya memang kesejahteraan masyarakat, yang seharusnya jadi perhatian. Kenapa pemerintah tidak membela masyarakat?”katanya.

Sebab dalam tinjauan administasi publik Sena mengatakan jika esensi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk dalam bidang pertambangan adalah  untuk kesejahteraan masyarakat. Maka apabila kebijakan itu tidak mencapai tujuan, tentu ada kesalahan yang terjadi dalam sistem atau prosesnya.

Reaksi dari Sena bukan tanpa alasan, pasalnya dari penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu yang sempat dibagikan kepadanya, aktivitas pertambangan dinilai telah merenggut kesejahteraan masyarakat jangka panjang.

Utamanya dari sisi lingkungan seperti pencemaran Sungai Penimur dan sosial ekonomi masyarakat yang tidak mendapat ganti rugi keseluruhan. Sehingga dalam kasus keseluruhan kasus Sungai Penimur, Sena melihat minimnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah selaku regulator.

Pada beberapa cerita yang ditulis sebelumnya, hanya Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Sumsel yang berada di barisan terdepan. Meski tidak bersentuhan secara langsung.

Mereka yang seharusnya berada di bagian terdepan yakni pihak terkait seperti Dinas ESDM yang terkesan menutup mata dalam persoalan yang telah sejak lama dilakukan dalam aktivitas pertambangan di kawasan Sungai Penimur ini.

 “Kondisinya sekarang sudah jelas terlihat rumit. Mau distop nanti banyak yang teriak, siapa yang berani kalau sudah seperti ini? Tapi, semisal seluruh pihak terkait ini tunduk aturan atau sama-sama patuh, akan selesai masalahnya,karena mekanisme kepatuhan terhadap aturan pertambangan tidak didampingi dengan mekanisme “reward and punishment” yang fair dari pemerintah” ujarnya.

Dr. Sena Putra Prabujaya M.AP

Di lain sisi, proses melibatkan masyarakat dalam sebuah kebijakan, seperti dalam kasus pertambangan ini, juga sangat minim. Kembali kepada sejarah, sebelum sebuah wilayah belum di eksplorasi, masyarakat secara turun-temurun telah berada di kawasan tersebut. Justru menurut Sena, akan lebih baik jika pemodal (perusahaan tambang) maupun pemerintah memberi kesempatan dan melibatkan untuk warga lokal dalam setiap aktivitas pertambangan tersebut. Sehingga semua pihak dapat melakukan “Share cost and benefit” secara proporsional yang akan menimbulkan “common responsible” terhadap kegiatan pertambangan

“Monitoring dari kegiatan ini kan tidak pernah melibatkan masyarakat, tapi pengerukan batu bara terus berlangsung, kapal-kapal terus berdatangan lalu siap mengirimkannya ke luar negeri dan siap dijual. Dari sini kita melihat apa yang didapat oleh masyarakat?”ungkapnya.

 Kehadiran regulator atau pemerintah ini, menurut Sena harus dirasakan oleh masyarakat, tidak hanya pada tahap awal sosialisasi kebijakan atau dimulainya aktivitas pertambangan dalam kasus ini. Seperti yang terungkap dalam penelusuran yang dilakukan Kantor Berita RMOLSumsel, yang hingga kini menjadi pekerjaan rumah pemerintah provinsi Sumatera Selatan.

“Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah gambaran dari permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat Sungai Penimur,”ujar Sena.

Sebagai kesimpulan, apa yang terjadi adalah “mismanagement” yang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya dalam tubuh aparatur pemerintahan atau dalam organisasi usaha apapun. Sena berharap gambaran cerita mengenai dampak pertambangan di kawasan Muara Enim dan Prabumulih ini bisa membuat semua pihak berkaca atas kesalahan yang terjadi.

 Bukan untuk saat ini, melainkan menjadi peringatan untuk masa depan ekosistem, lingkungan dan sumber daya manusia di kawasan sekitar tambang.

“Sampai saat ini saya belum menemukan areal bekas tambang yang memberi manfaat bagi masyarakat. Itu pula yang terjadi di Indonesia, bahkan Sumsel. Secara system ini harus menjadi perhatian pemerintah, tegakkan pengawasan dan akuntabilitas, dan tentunya harus memberikan manfaat bagi masyarakat,”katanya.