Komisi IV: Pendapatan Sektor Tambang Tak Sebanding dengan Dampak Kerusakan Lingkungan 

Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Ir Holda MSi. (kenedy/rmolsumsel.id)
Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Ir Holda MSi. (kenedy/rmolsumsel.id)

Sektor pertambangan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di Sumsel. Berdasarkan data, sektor tersebut menyumbang 21,09 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumsel di 2021. Namun, besarnya kontribusi ekonomi tersebut tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima daerah. 


Hal ini diungkapkan Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Ir Holda MSi saat mengikuti Focus Group Discussion (FGD) Dampak Aktivitas Pertambangan di Sumsel dalam Perspektif Lingkungan Hidup dan Keadilan Ekonomi yang digelar Kantor Berita RMOLSumsel di Hotel Grand Ina Daira, Minggu (5/6).

Holda menjelaskan, penerimaan daerah yang didapat dari dana bagi hasil tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dialami masyarakat Sumsel, khususnya yang tinggal di wilayah pertambangan. 

“Sumsel bagi hasil (sektor pertambangan,red) sangat rendah. Inilah yang harus jadi perhatian khusus bagi seluruh pihak terutama pusat. Sebab, kita sebagai daerah penghasil harus merasakan dampak dari kerusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas pertambangan ini. Dan selama ini, hasil yang didapat tak sebanding dengan kerusakan yang dialami,” ujar Holda. 

Dia menuturkan, komitmen DPRD secara kelembagaan terhadap kelestarian lingkungan telah ditunjukkan dengan penetapan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Sumsel. Dimana, dari 34 provinsi di Indonesia baru tiga provinsi yang memiliki Perda tersebut. 

“Seharusnya ini juga bisa menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam memberikan reward atau bagi hasil yang sesuai,” ungkapnya. 

Dari sisi pengawasan dan kontrol, Komisi IV DPRD Sumsel juga terus bekerja dengan menerima usulan dan pengaduan masyarakat terhadap aksi pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitar wilayah mereka. “Kami telah memanggil perusahaan-perusahaan yang terindikasi mencemari lingkungan untuk meminta klarifikasi. Dan kami siap bersinergi kedepannya agar Sumsel dapat memiliki lingkungan yang lebih baik lagi,” ucapnya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah mengatakan, kegiatan pertambangan tak bisa luput dari kerusakan lingkungan. Sebab didalamnya terdapat aktivitas penggalian, pengangkutan hingga penjualan. 

“Saya sepakat jika aktivitas pertambangan secara otomatis akan bersinggungan dengan kerusakan lingkungan,” ucapnya. 

Hanya saja, pihaknya memastikan agar kegiatan pertambangan tetap dalam bingkai aturan perundang-undangan yang telah dibuat. “Terutama kegiatan pasca tambang atau reklamasi yang nantinya akan mengembalikan kondisi lingkungan mendekati rona awal sebelum terjadinya aktivitas pertambangan,” terangnya. 

Produksi batubara Sumsel sendiri tergolong kecil meskipun memiliki kandungan atau cadangan batubara terbesar di Indonesia yang mencapai 22 miliar ton. Jika dibandingkan dengan Provinsi Kaltim, produksi batubara Sumsel yang pertahunnya mencapai 60 juta ton masih kalah dengan satu perusahaan yang beroperasi di provinsi tersebut yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang produksinya mencapai 90 juta ton per tahun. 

“Kita sudah memiliki RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) dengan zona tertentu yang membatasi ruang gerak produksi tambang ini. Inilah yang kedepannya akan dijaga. Harapannya, dampak pertambangan ini harus memenuhi keadilan masyarakat dan berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.