KLHK Seret PT BHP ke Meja Hijau, Tuntutan Kerugian dan Pemulihan Capai Rp2,47 T

Persidangan gugatan perdata atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan PT Bintang Harapan Palma (BHP) digelar di Pengadilan Negeri Palembang
Persidangan gugatan perdata atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan PT Bintang Harapan Palma (BHP) digelar di Pengadilan Negeri Palembang

Persidangan gugatan perdata atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan PT Bintang Harapan Palma (BHP) digelar di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu (12/5/2025).


Gugatan ini dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLH) terkait kebakaran di lahan konsesi milik PT Bintang Harapan Palma pada tahun 2023 silam.

KLHK menggugat PT BHP dalam perkara nomor 268/Pdt.Sus-LH/2024/PN Plg dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp677 miliar lebih, yang terdiri dari kerugian ekologis, kerugian ekonomi, dan biaya verifikasi sengketa lingkungan. 

Selain itu, pemerintah juga meminta agar PT BHP diwajibkan melakukan pemulihan lingkungan di wilayah terdampak karhutla. Kasubdit Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogi Wulan Puspitasari mengatakan ada dua gugatan yang dilayangkan pihaknya, selain nilai kerugian KLHK juga menggugat terkait pemulihan lingkungan yang mencapai nilai Rp1,8 triliun rupiah. 

Sehingga di jika ditotal dengan tuntutan nilai kerugian mencapai, Rp2,47 triliun lebih. " Memang kalau kita melihat nilai angkanya terlihat sangat fantastis, tapi percayalah hal itu sangatlah kecil jika dibandingkan kerusakan lingkungan akibat karhutla yang terjadi di lahan gambut," ungkap Yogi dibincangi usai persidangan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, luasan lahan yang terbakar pada PT BHP pada tahun 2023 lalu mencapai 6042,8 hektare dari total 10.550 lahan konsesi dari PT BHP.

"Sebenarnya kami tidak melarang kegiatan di lahan gambut yang dilakukan korporasi atau perusahaan pada umumnya. Tapi juga harus dijaga karena jika terjadi karhutla dampak emperis sangat luas. Bukan hanya kerusakan ekologi yang terjadi namun juga kesehatan masyarakat juga menjadi korban," jelasnya.

Sebelumnya dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Palembang, saksi ahli yang dihadirkan KLHK, Dr. Ir. Asmadi, akademisi dari Universitas Jambi yang dikenal sebagai pakar ekosistem gambut menegaskan bahwa kebakaran lahan gambut menimbulkan dampak ekologis yang sangat besar dan merusak tatanan lingkungan secara luas.

“Lahan gambut yang terbakar habis akan kehilangan bahan organik penting. Selain menimbulkan asap pekat, kebakaran ini juga merusak kesuburan tanah, meningkatkan risiko banjir, dan menghancurkan keseimbangan ekosistem,” ujar Asmadi di hadapan majelis hakim yang diketuai Raden Zaenal Arif.

Ia menjelaskan bahwa topografi Sumatera Selatan yang banyak memiliki cekungan dan danau alami menjadikan wilayah ini sangat rawan bencana jika ekosistem gambut rusak. Gambut, menurutnya, berperan penting sebagai penyerap dan penyimpan air seperti spons alami.

“Ketika gambut rusak karena terbakar, daya serap air hilang. Ini memperbesar kemungkinan banjir besar saat musim hujan,” tambahnya.

Asmadi juga menyinggung peraturan pemerintah terkait perlindungan gambut, yakni PP Nomor 71 Tahun 2014 dan PP Nomor 57 Tahun 2016. Ia menilai PT BHP lalai dalam menjalankan kewajiban perlindungan dan pengelolaan lahan gambut sebagaimana diatur dalam regulasi tersebut.

“Kerusakan gambut bukan masalah sesaat. Butuh puluhan tahun untuk memulihkannya. Ini kerusakan ekologis jangka panjang yang bisa berdampak lintas generasi,” tegasnya.

Sidang selanjutnya dijadwalkan pekan depan dengan agenda lanjutan pemeriksaan alat bukti dan saksi lainnya.